FATMAWATI SOEKARNO
Pada hari Senin, tanggal 5 Februari 1923 di Kampung Pasar Malabero, Bengkulu lahirlah seorang bayi dari pasangan Hasan Din dan Siti Khatidjah. Bayi tersebut diberi nama Fatmawati yang berarti bunga teratai, kelak wangi bunga teratai itulah yang akan turut mengantarkan Indonesia ke gerbang kemerdekaan.
Sebelum memasuki usia sekolah, Fatmawati menempa diri dengan belajar agama Islam kepada kakeknya yang seorang guru agama. Semangat untuk belajar agama tidak terlepas dari latar belakang keluarganya yang religius. Ayah Fatmawati, Hasan Din, adalah seorang pengurus organisasi Muhammadiyah cabang Bengkulu.
Ketika berusia enam tahun, Fatmawati dimasukkan ke Sekolah Gedang (Sekolah Rakyat). Namun pada tahun 1930, ia dipindahkan ke sekolah berbahasa Belanda, yaitu HIS (Hollandsch Inlandsch School). Saat duduk di kelas tiga, ia dipindahkan oleh ayahnya ke HIS Muhammadiyah.
Kondisi ekonomi keluarganya yang tidak memadai kemudian mendorong Fatmawati kecil untuk mandiri. Berbagai usaha telah dilakukan oleh Fatmawati kecil untuk ikut meringankan beban orang tua.
Saat usia 15 tahun, Fatmawati bertemu dengan Soekarno. Peristiwa itu terjadi saat Hasan Din mengajak istrinya dan Fatmawati untuk bersilaturahmi dengan seorang tokoh pergerakan yang dibuang ke Bengkulu. Tokoh tersebut bernama Soekarno. Sejak pertemuan tersebut, hubungan keluarga Soekarno dan keluarga Hasan Din terjalin erat.
Fatmawati menikah dengan Soekarno pada bulan Juni 1943. Fatmawati berusia 19 tahun dan Soekarno berusia 41 tahun. Sejak itu pula Fatmawati selalu menemani Soekarno dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Fatmawati turut pula menghadiri Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ketika Soekarno pada 1 Juni 1945 berpidato mengenai Pancasila. Fatmawati menjahit bendera Merah Putih yang digunakan pada saat upacara proklamasi kemerdekaan dan menemani Soekarno dalam Peristiwa Rengasdengklok walau harus membawa Guntur Soekarnoputra, putra pertama meraka, yang saat itu masih bayi. Atas jasa-jasanya, Fatmawati dianugerahi Pahlawan Nasional.
Fatmawati menjadi Ibu Negara setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan. Meskipun demikian kehidupannya sangat merakyat. Ia juga berusaha membangun citra sebagai ibu rumah tangga yang baik bagi keluarga. Itulah sebabnya ia dikenal sebagai Ibu Negara yang bersahaja, menyayangi keluarga, suka menolong serta memiliki keteladanan bagi keluarga dan masyarakat.
Pernikahan Soekarno dan Fatmawati dikaruniai lima anak, yaitu Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra.
TIEN SOEHARTO
Raden Ayu Siti Hartinah, begitu nama yang diberikan oleh pasangan KPH Soemoharjomo dan Raden Ayu Hatmanti Hatmohoedojo. Lahir di Desa Jaten, Surakarta, Jawa Tengah pada tanggal 23 Agustus 1923. Siti Hartinah sehari-hari dipanggil “Ibu Tien Soeharto” setelah menikah dengan Soeharto pada tanggal 26 Desember 1947 di Surakarta.
Masa kecil Siti Hartinah diwarnai dengan berpindah-pindah tempat tinggal mengikuti orang tuanya yang ditugaskan ke berbagai daerah. Perpindahan itu mengakibatkan terjadinya perbedaan alam dan lingkungan. Namun, perbedaan tersebut ternyata memberi bekal yang cukup berarti bagi pribadinya menjadi pribadi yang terbuka dan luas pergaulannya.
Pada masa sekolah, Siti Hartinah aktif dalam kegiatan kepanduan JPO (Javaanche Padvinder Organisatie). Karena rajin mengikuti latihan-latihan di JPO, akhirnya dalam dirinya tumbuh tunas-tunas idealisme yang terus berkembang. Fungsi kepanduan yang universal adalah pembinaan budi pekerti, watak, dan karakter sejak usia muda, disiplin dan solidaritas serta tolong menolong, saling hormat menghormati serta saling menyayangi.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, putri-putri Solo yang gemulai, pada tanggal 11 Oktober 1945 membentuk organisasi bersenjata yang mereka namakan Laskar Puteri Indonesia (LPI). Mereka dilatih oleh perwira dari Batalyon yang dipimpin Mayor Soeharto. Laskar itu pun telah menjelma menjadi pasukan tempur wanita.
Siti Hartinah berperan aktif dalam LPI. Ia menjadi tulang punggung di garis belakang yang sangat membantu perjuangan di garis depan. Selama menjadi anggota LPI, Siti Hartinah pernah ditempatkan di Salatiga untuk membantu kekurangan tenaga di sana. Secara umum, LPI benar-benar menjadi penunjang kesuksesan perjuangan melawan musuh.
Usia Siti Hartinah terus bertambah, namun ia tidak juga menunjukkan tanda-tanda tertarik pada lawan jenis. Bukan satu dua kali Siti Hartinah mendapat lamaran atau didekati oleh seorang pemuda, tetapi ia selalu saja menolak. Akan tetapi, ketika yang melamar adalah seorang perwira muda bernama Soeharto, ia sama sekali tidak menunjukkan keberatannya.
Perkawinan kedua insan yang tidak melakukan masa pacaran sebelumnya terjadi pada tanggal 26 Desember 1947. Upacara pernikahan dilangsungkan secara amat sederhana. Resepsi pun hanya diterangi lampu lilin yang redup. Pada waktu menikah, usia Soeharto adalah 26 tahun sedangkan Siti Hartinah 24 tahun.
Karier Soeharto dalam bidang militer terus menanjak seiring dengan prestasi luar biasa yang berhasil ia tunjukkan. Pencapaian prestasi luar biasa Soeharto tidak lepas dari peran dan jasa Siti Hartinah sebagai isteri dan ibu bagi anak-anaknya yang selalu setia menemani dan mendukung perjuangan suaminya.
Pada tanggal 27 Maret 1968, MPRS mengangkat Jenderal Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia ke-II dan menjadikan Tien Soeharto sebagai Ibu Negara.
Pada masa awal kegiatannya sebagai ibu negara, aktivitas sosial menjadi fokus perhatiannya. Tien Soeharto juga adalah pencinta bunga, khususnya anggrek dan melati. Bunga adalah lambang keindahan. Menurutnya, bunga-bunga yang berwarna-warni dapat membuat kehidupan ini serasa menyejukkan dan menggairahkan. Cinta terhadap bunga akan menambah kecintaan terhadap tanah air yang indah ini. Cinta kepada keindahan dapat memperhalus budi pekerti.
Setelah berbagai kunjungannya ke luar negeri, Tien Soeharto terinsiparasi untuk membangun sebuah taman yang menyajikan keindahan budaya dan lingkungan alam Indonesia. Tien Soeharto amat menyadari bahwa kekayaan alam dan budaya Indonesia tidak kalah dengan kekayaan alam dan budaya negara lain. Membangun sebuah miniatur Indonesia menurutnya adalah suatu keniscayaan. Keinginan tersebut didukung oleh suaminya, Pak Harto, yang selalu berkata bahwa Indonesia menjadi negara besar karena sejarahnya yang panjang, perjuangan bangsanya yang hebat, dan kebudayaannya yang tinggi. Betapa indahnya rumah-rumah adat dan betapa beraneka ragamnya kebudayaan mulai dari Sabang sampai Merauke.
Pada tanggal 27 Juni 1972 dimualilah pembangunan proyek Miniatur Indonesia Indah. Luas tanah untuk proyek ini adalah 100 ha. Pembangunan memakan waktu tiga tahun. Proyek Miniatur Indonesia Indah berakhir ketika hasilnya berupa sebuah Taman Mini Indonesia Indah diresmikan pada tanggal 20 April 1975. Dalam pidato acara peresmian, Tien Soeharto mengemukakan, "Ciri utama taman ini adalah penampilan Indonesia yang besar dalam bentuknya yang kecil”.
Selama menjalankan fungsinya sebagai Ibu Negara, Tien Soeharto banyak sekali memberikan sumbangan dalam berbagai bidang. Bidang sosial, budaya, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dan perlindungan anak, serta pemberdayaan wanita menjadi fokus perhatian. Tien Soeharto kemudian dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia tidak lama setelah wafatnya pada tanggal 26 April 1996.
AINUN HABIBIE
Hasri Ainun Besari adalah nama yang diberikan oleh orang tuanya ketika ia dilahirkan pada tanggal 11 Agustus 1937 di Semarang, Jawa Tengah. Nama tersebut memiliki arti “Mata yang Indah”. Ainun merupakan anak keempat dari delapan bersaudara dari orang tua bernama H. Mohammad Besari. Hasri Ainun Besari kelak dipanggil dengan nama Ainun Habibie setelah menikah dengan B. J. Habibie pada tanggal 12 Mei 1962. Pernikahannya dengan B. J. Habibie dikaruniai dua orang anak, yaitu Ilham Akbar Habibie, dan Thariq Kemal Habibie.
Ainun menyelesaikan pendidikan dasar sampai menengah di Bandung. Sekolahnya di SLTP bersebelahan dengan sekolah B. J. Habibie. Bahkan saat di SLTA mereka belajar di sekolah yang sama, hanya saja Habibie menjadi kakak kelasnya. Setelah menamatkan pendidikan SLTA, ia merantau ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan. Ainun mengambil Fakultas Kedokteran di Universitas Indonesia, Jakarta. Ia lulus sebagai dokter pada tahun 1961.
Berbekal ijazah kedokteran dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tersebut, Ainun Habibie diterima bekerja di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Di RSCM Ainun bekerja pada bagian perawatan anak-anak. Kesan pertama dengan pekerjaan ini secara tidak langsung menjadikan Ainun sangat perhatian pada kondisi anak-anak sepanjang hayatnya. Ia bekerja di RSCM hanya setahun saja, sampai tahun 1962. Setelah menikah dengan Habibie pada tahun 1962 itu juga, ia harus meninggalkan pekerjaan sebagai dokter anak lalu ikut dengan suaminya pergi ke Jerman Barat untuk menyelesaikan pendidikan.
Ainun adalah sosok ibu yang sangat bertanggung jawab. Sejak anak-anaknya masih kecil, Ainun mengajarkan kepada mereka untuk hidup sederhana, mengembangkan kepribadian, misalnya dengan cara membiasakan untuk berani bertanya dan mengemukakan pendapat serta mengajak diskusi di rumah.
Ainun juga seorang isteri yang sangat setia yang akan selalu mendampingi suaminya dalam segala hal. Saat mula-mula Habibie menjadi teknokrat, ia menjadi sosok yang mengatur Habibie di belakang layar. Misalnya, ia selalu mengingatkan Habibie dalam masalah waktu kerja. Ainun juga menjadi pengingat waktu saat Habibie memberikan kuliah atau ceramah. Dengan cara tertentu, Ainun akan memberikan isyarat kalau habibie sudah harus berhenti.
Pada tanggal 23 Mei 1998, Ainun menjadi menjadi Ibu Negara setelah B. J. Habibie dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia yang ketiga menggantikan Presiden Soeharto yang mengundurkan diri. Selama menjadi Ibu negara Ainun menunjukkan dedikasi dan pengabdiannya pada suami dan pada negara sekaligus. Bayak orang yang merasa terkagum-kagum bahkan heran bagaimana Ainun dalam usianya yang tidak lagi muda memiliki energi dan stamina yang seolah tidak pernah habis dalam mengikuti ritme kerja Habibie. Tahun 1999 adalah masa yang sulit bagi Indonesia, namun di tengah gemuruh kesulitan tersebut, Ainun mampu menempatkan diri sebagai Ibu Bangsa yang melayani dan mendukung suami selaligus menjadi “Ibu” bagi 200 juta rayat Indonesia.
Ainun memiliki kepedulian yang sangat besar dalam kegiatan sosial. Ia mendirikan dan terlibat dalam berbagai yayasan, seperti Bank Mata untuk penyantun mata tunanetra. Ia bahkan masih menjadi sebagai Ketua Perkumpulan Penyantun Mata Tunanetra Indonesia (PPMTI) pada saat Habibie tidak lagi menjadi presiden.
Ia juga mencatat segudang prestasi besar selama hidupnya. Atas sumbangsihnya tersebut, Ainun mendapatkan beberapa penghargaan tertinggi Bintang Mahaputra. Penghargaan tersebut diberikan oleh pemerintah sebagai bentuk penghargaan kepada warga yang dianggap memiliki peran besar terhadap negara. Antara lain ia mendapatkan penghargaan Bintang Mahaputra Adipurna, juga Mahaputera Utama pada tanggal 12 Agustus 1982 serta Bintang Mahaputra Adipradana pada 6 Agustus 1998.
Ainun wafat pada tanggal 22 Mei 2010 dalam usia 72 tahun di Muenchen, Jerman. Jenazah Ainun dikebumikan pada tanggal 24 Mei 2010 di Taman Makam Pahlawan, Kalibata, Jakarta.
SINTA NURIYAH WAHID
Dilahirkan di Jombang pada tanggal 8 Maret 1948. Masa kecil Sinta Nuriyah diwarnai dengan kentalnya pendidikan agama. Pendidikan dasar dan menengah dilaluinya dengan mengenyam pendidikan di Madrasah. Bahkan pendidikan Strata 1 (S-1) ditempuhnya di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Sinta Nuriyah melanjutkan pendidikan dalam program pasca sarja Strata 2 (S-2) di Universitas Indonesia dalam bidang Kajian Wanita.
Menikah dengan Abdurrahman Wahid pada tanggal 11 September 1971. Dari pernikahannya tersebut, Sinta Nuriyah dikaruniai empat orang anak, yaitu: Alissa Qotrunnada Munawaroh (Lissa), Zannuba Arifah Chafsoh (Yenny), Anita Hayatunnufus (Nita), dan Inayah Wulandari (Ina).
Setelah menikah dengan Abdurrahman Wahid yang akrab disapa dengan nama Gus Dur, Sinta Nuriyah setia mendampingi dan mendukung setiap perjuangan Gus Dur. Sinta Nuriyah menjadi Ibu Negara setelah Gus Dur diangkat menjadi Presiden Republik Indonesia ke-4 melalui Sidang Umum MPR pada tanggal 20 Oktober 1999.
Sinta Nuriyah dikenal sebagai tokoh pendidik dan pejuang hak perempuan baik semasa suaminya belum menjadi presiden sampai tidak lagi menjabat sebagai presiden. Sinta Nuriyah terlibat secara aktif di dalam kegiatan-kegiatan yang memperjuangkan hak perempuan dan mendirikan yayasan-yayasan yang bergerak dalam bidang pemberian bantuan sosial. Salah satu yayasan yang didirikan oleh Sinta Nuriyah adalah Yayasan PUAN Amal Hayati.
Yayasan PUAN Amal Hayati adalah sebuah lembaga sosial-kemanusiaan yang didirikan di Jakarta pada tanggal 3 Juli 2000 atas prakarsa bersama sejumlah kalangan akademisi, civitas pesantren, dan aktivis sosial yang memiliki kepedulian terhadap pemberdayaan kaum perempuan, khususnya dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap mereka. PUAN adalah singkatan dari Pesantren Untuk Pemberdayaan Perempuan, sedangkan Amal Hayati mengandung makna harapan hidupku. Dengan demikian tugas yang diemban oleh PUAN Amal Hayati adalah memberdayakan kaum perempuan melalui pesantren untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di masa mendatang.
ANI YUDHOYONO
Kristiani Herrawati adalah nama lengkap dari Ani Yudhoyono. Lahir di Yogyakarta pada tanggal 6 Juli 1952. Lahir dari pasangan Letjen TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo (alm) dan Hj. Sunarti Sri Hadiyah. Anak ke 3 dari 7 bersaudara, Ani Yudhoyono adalah lulusan Sarjana Sosial Ilmu Politik dari Universitas Terbuka (UT) tahun 1998. Sebelumnya pernah berkuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia (UKI), tetapi tidak sempat menyelesaikan kuliah kedokterannya, karena mengikuti kepindahan kedua orangtuanya ke Korea Selatan untuk menjadi Duta Besar (Dubes).
Pada tanggal 30 Juli 1976, Ani Yudhoyono menikah dengan DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta. Dan dikaruniai dua orang putera. Putera pertamanya adalah Mayor Inf. Agus Harimurti Yudhoyono, M.Sc., MPA, menikah dengan Annisa Larasati Pohan, S.E., M.M. dan dikaruniai seorang putri yang cantik bernama Almira Tunggadewi Yudhoyono. Sedangkan putra kedua bernama Edhie Baskoro Yudhoyono, B.Comm., M.Sc, menikah dengan Siti Rubi Aliya Rajasa, M.Bm. dikaruniai seorang putra yang lucu bernama Airlangga Satriadhi Yudhoyono.
Ani Yudhoyono terus mengiringi suami tercinta di jalur perjalanan kariernya, yang akhirnya mengantarkan Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono ke panggung politik. Tahun 2004, merupakan tahun bersejarah baik bagi dirinya, keluarganya, maupun bagi rakyat Indonesia. Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono resmi terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia pertama yang dipilih langsung oleh rakyat Indonesia untuk masa bakti 2004 - 2009. Maka sejak saat itulah Ani Yudhoyono resmi menjadi Ibu Negara Republik Indonesia. Tahun 2009, DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono kembali terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia masa bakti 2009 – 2014. Menjadi Ibu Negara adalah sebuah tanggung jawab besar dan pengabdian.
Selama menjalankan fungsinya sebagai Ibu Negara, Ani Yudhoyono aktif dalam berbagai kegiatan sosial, budaya, pendidikan, kepedulian lingkungan, pemeberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Ani Yudhoyono menjadi pembina, pelindung, penasehat, dan ketua kehormatan berbagai organisasi baik yang berskala nasional maupun internasional yang bergerak dalam bidang-bidang tersebut.
Berbagai penghargaan pernah dianugerahkan kepada Ani Yudhoyono, antara lain: Tanda Kehormatan Bintang Republik Indonesia Adipradana tahun 2011, Penghargaan berupa Pin Emas dari M. Yunus (Pemegang Nobel Perdamaian tahun 2006 dan pendiri Grameen Bank, Bangladesh tahun 2006), karena komitmen Ibu Negara mendorong serta mengembangkan UKM dan Kredit Mikro Indonesia melalui program (Perempuan Keluarga Sehat dan Sejahtera) dan Indonesia Kreatif (PERKASSA), Penghargaan berupa Certificate of Global Leadership dari The United Nations Environment Program (UNEP) untuk kepemimpinan Ibu Negara dalam program Gerakan Tanam dan Pelihara 10.000.000 (sepuluh juta) Pohon di seluruh Indonesia, dan Penghargaan berupa Pin Emas dari Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan sebagai “Ibu Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan dan Anak” dalam acara puncak peringatan Pekan ASI Sedunia tahun 2007. Selain itu pada tahun 2013, pada Acara Puncak Peringatan Hari Ibu ke-85, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memberikan penghargaan “Yasas Budhimat Patnika” yang berarti perempuan yang cerdas, bijaksana, dan terpilih. Penghargaan tersebut dianugerahkan kepada Ibu Negara yang selalu memberikan dedikasi dan komitmen untuk peningkatan pemberdayaan perempuan dan pemenuhan hak anak.