K.R.T Dr. Radjiman Wedyodiningrat adalah seorang dokter yang merupakan penggagas kemerdekaan Indonesia yang sekarang namanya merupakan seorang pahlawan nasional Indonesia. Dr Radjiman Wedyoningrat dilahirkan di Yogyakarta, 21 April 1879, dia lahir dari keluarga biasa. Ayahnya seorang penjaga toko di Yogyakarta yang bernama Ki Sutrodono dan ibunya seorang ibu rumah tangga yang berdarah Gorontalo. Semasa kecil dia sangat berbakat, terlihat dari kecerdasannya dan ambisinya dalam menempuh pendidikan. Dia memperoleh gelar K.R.T (Kanjeng Raden Tumenggung) dari kasultanan Yogyakarta karena jasanya telah bekerja di rumah sakit Yogyakarta pada masa Hindia-Belanda.
Pada tanggal 20 September 1952 dia menghembuskan nafas terakhirnya di desa Dirgo, Kabupaten Ngawi. Dan jenazahnya dikebumikan di tanah kelahirannya Yogyakarta di Desa Melati, Sleman Yogyakarta. Makamnya berdekatan dengan ayah angkatnya yaitu dr. Wahidin Soedirohoesodo.
Sosok Mas Isman memang dikenal sebagai pendiri organisasi Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) yang kemudian menyesuaikan diri dari brigade pertempuran pasca-kemerdekaan. Rumah Mas Isman di Jalan Pandan No 5 Kota Malang kini menjadi kantor Kosgoro Malang. Mas Isman, lahir 1 Januari 1924 di Bondowoso, Jawa Timur. Ia menempuh pendidikan di Purwokerto, Cirebon, Malang dan Surabaya. Sebagai pelajar, Mas Isman turut berjuang merebut kemerdekaan Indonesia dari penjajah melalui Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP).
Pada Tahun 1945-1951 Mas Isman mendirikan TRIP Jawa Timur. Lalu ia mendapatkan tugas di Kantor Perdana Menteri Indonesia pada 1956-1958 dengan pangkat Letnan Kolonel. Duta Besar sejak 1959-1967 di Rangoon, Bangkok dan Kairo itu dengan pangkat Brigjen juga pernah diembannya. Tak lama kemudian, Mas Isman berkecimpung di dunia politik dengan menjadi anggota DPR/MPR pada 1978.
Laksamana Malahayati adalah seorang muslimah yang menjadi laksamana perempuan pertama di dunia yang berasal dari Kesultanan Aceh. Salah satu tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Ia adalah putri dari Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya bernama Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah Kesultanan Aceh Darussalam sekitar tahun 1530-1539 M. Sultan Salahuddin Syah merupakan putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M) yang merupakan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam. Dari silsilah tersebut dapat diketahui bahwa laksamana Malahayati merupakan keturunan darah biru.
Pada tahun 1585-1604, ia memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV. Karirnya di medan tempur berawal dari dibentuknya pasukan "Inong balee" (janda-janda pahlawan yang telah syahid). Ia sendiri kehilangan suaminya yang gugur dalam pertempuran melawan Portugis.
Malahayati memimpin armada laut dengan 2.000 orang pasukan "Inong balee" berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda pada 11 September 1599. Ia juga berhasil menewaskan Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal, dan mendapat gelar "Laksamana" untuk keberaniannya ini, sehingga ia kemudian lebih dikenal dengan nama Laksamana Malahayati.
Lambertus Nicodemus Palar atau biasa dikenal dari singkatannya LN Palar. Lahir di di Rurukan, Tomohon, Sulawesi Utara pada 5 Juni 1900.
Pria yang juga akrab dipanggil Babe Palar tersbeut merupakan tokoh dan diplomat dari Provinsi Sulawesi Utara yang pada 1947 berhasil mendesak Dewan Keamanan PBB untuk memerintahkan Belanda melakukan gencatan senjata dengan Indonesia. Dia juga berhasil menyakinkan eksistensi Indonesia kepada perwakilan negara-negara di PBB.
Anak dari Gerrit Palar dan Jacoba Lumanauw itu pernah menjadi Duta Besar Indonesia di India, Jerman Timur, Uni Soviet, Kanada, dan Amerika Serikat. Dia memulai pendidikan di sekolah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Tondano. Kemudian melanjut ke Algemeene Middelbare School (AMS) di Yogyakarta, dan tinggal bersama Sam Ratulangi.
Pada 1922, Palar masuk ke Technische Hoogeschool di Bandung, yang kini dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB) yang mempertemukannya dengan para tokoh kemerdekaan, termasuk Soekarno. Setelah sempat menghentikan kuliahnya dan kembali ke Minahasa, Palar kembali sekolah hukum di Rechtshoogeschool te Batavia, Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta saat itu yang juga menjadi cikal bakal Fakultas Hukum UI). Pada 1928 dia pindah ke Belanda dan kuliah di Universitas Amsterdam.
Palar juga berjasa dalam mengatasi konflik Belanda dan Indonesia, pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda hingga masuknya Indonesia ke dalam keanggotaan PBB. Saat Indonesia menjadi anggota ke-60 di PBB pada 28 September 1950, Palarlah yang berpidato sebagai perwakilan Indonesia di muka Sidang Umum PBB.