Pakaian atau busana yang biasa dipakai pada acara resmi dan kenegaraan terdiri dari: Pakaian Sipil Lengkap (PSL); Pakaian Dinas; Pakaian Kebesaran; dan Pakaian Nasional. Pakaian atau busana nasional tersebut bisa berupa pakaian yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia yang dapat digunakan pada acara kenegaraan dan resmi sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh panitia dari institusi atau kesekretariatan lembaga negara. Sebagaimana diketahui, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terdiri dari 34 provinsi dengan ribuan suku bangsa yang memiliki kekayaan budaya dan keragaman yang khas Indonesia, antara lain berupa model pakaian adat dari masing-masing propinsi, suku dan peruntukannya. Dengan keragaman etnik yang ada di Indonesia, tentu beragam pula pilihan busana nasional yang bisa dipergunakan oleh masyarakat Indonesia.
Busana nasional yang bisa diambilkan dari salah satu pakaian adat dari berbagai provinsi di Indonesia merupakan kostum nasional yang mewakili NKRI. Kostum tersebut berasal dari budaya Indonesia dan tradisi tekstil tradisional Indonesia. Sebagian besar kostum nasional Indonesia yang paling terkenal adalah Batik dan Kebaya (Untuk kaum perempuan). Meskipun aslinya kostum tersebut berasal dari budaya Jawa, Sunda dan Bali, sejak Jawa menjadi pusat politik dan populasi Indonesia, kostum foklor dari pulau tersebut naik menjadi status nasional dan dominan dipergunakan oleh masyarakat Indonesia. Penggunaan busana nasional di beberapa daerah juga masih sangat dipengaruhi oleh sentuhan etnik yang khas dari daerah setempat. Misalnya kain batik dengan berbagai motif dan bahan serta model kebaya, baju kurung, baju bodo dan kain khas daerah berupa batik, songket atau tenun.
Kelengkapan busana Indonesia, khusus untuk laki-laki, salah satunya adalah kopiah, tutup kepala atau biasa juga disebut songkok atau peci. Di belahan dunia mana-pun, begitu seseorang terlihat mengenakan kopiah, dia akan langsung dikenal sebagai orang Indonesia. Di Indonesia sendiri, selain sudah menjadi identitas nasional, kopiah juga menjadi ciri budaya keagamaan seseorang. Warisan budaya leluhur ini terus dipakai sebagai identitas sekaligus estetika dalam berbusana. Bagi laki-laki, peci atau kopiah bukan hanya sekedar pelengkap pakaiannya atau hanya sekadar untuk melindungi kepala dari terpaan langsung matahari. Namun lebih dari itu, kopiah juga digunakan untuk menyatakan diri sebagai muslim sekaligus menandakan sebuah gaya hidup yang agamis.
Dress code atau aturan berbusana umumnya ditentukan oleh pihak penyelenggara acara dengan tujuan menyelaraskan busana tamu undangan dengan acara yang digelar. Selain untuk menghargai pihak tuan rumah atau yang mengundang, berbusana sesuai dress code juga penting agar tidak terjadi kesalahan kostum saat menghadiri acara. Bila dress code yang diminta ialah busana nasional, selain dari sisi estetika maka ada beberapa pakem atau aturan umum yang sebaiknya dianut dan disesuaikan dengan jenis acara yang akan dihadiri.
Beberapa hal yang bisa dijadikan pedoman ketika akan menghadiri suatu acara menggunakan busana nasional antara lain: Bagi kaum perempuan, gunakan kebaya dan kain daerah (bisa batik, songket, atau tenun) yang panjangnya hingga menutup mata kaki. Untuk laki-laki, gunakan kemeja lengan panjang dengan celana panjang warna gelap senada. Kebaya resmi harus berlengan panjang tanpa detail seperti kerutan atau manset, dan tanpa ganjalan bahu. Jika memilih kebaya kutu buku padankan dengan kain batik yang diwiron. Tata rambut bisa mengaplikasikan gaya sanggul Indonesia atau gelung tekuk. Bisa ditambahkan aksesori selendang yang disampirkan di pundak, baik untuk berbusana kebaya maupun baju kurung yang senada dengan kain bawahan. Alas kaki bisa berupa selop atau sandal berhak dengan tumit terbuka atau sepatu kulit tertutup warna gelap untuk laki-laki.
Busana nasional yang diambil sebagai desain prangko Indonesia (Juga dipergunakan untuk cap khusus Sampul Hari Pertama) menggunakan kain batik dengan motif utama burung besar Garuda atau Gurda, seekor burung yang dianggap sebagai binatang suci oleh sebagian masyarakat. Dalam pandangan masyarakat Jawa, burung Garuda mempunyai kedudukan yang sangat penting. Bentuk motif Gurda terdiri dari dua buah sayap (lar) dan di tengahnya terdapat badan dan ekor. Motif batik Gurda juga tidak lepas dari cerita dan kepercayaan masa lalu. Garuda merupakan tunggangan Batara Wisnu yang dikenal sebagai Dewa Matahari. Garuda menjadi tunggangan Batara Wisnu dan dianggap sebagai lambang matahari oleh masyarakat Jawa. Sebagai perlambang matahari, maka Garuda dipandang sebagai sumber kehidupan utama, sekaligus lambang kejantanan, dan diharapkan akan selalu menerangi kehidupan umat manusia. Kiranya hal inilah yang menjadikan orang Yogyakarta dan Jawa pada umumnya mewujudkan burung yang suci ini kedalam motif batik.
Dalam penerapannya, motif Garuda biasanya dikombinasi dengan motif-motif batik lainnya, misalnya dengan motif Semen yang berasal dari kata “semi”, atau “tumbuh”. Motif Semen merupakan pola non-geometris yang terinspirasi oleh alam atau Garuda juga sering berpadu dengan motif-motif yang memiliki pola dasar geometris dan berulang. Sebenarnya ada juga burung yang lain seperti Merak, Ayam Babon, dan Phoenix, tetapi Garuda telah mendapatkan tempat istimewa karena selain menjadi lambang negara Indonesia, juga menjadi falsafah hidup orang Jawa sejak dulu. Penggunaan motif Garuda juga menjadi inovasi yang sangat menarik dalam dunia batik, selain filosofinya yang mendalam, keindahan Garuda memiliki sudut pandang tersendiri bagi kebanyakan penikmat batik tulis.
Garuda sering dipadukan juga dengan motif Ceplok atau batik Ceplokan. Bentuk pola ceplok yang sangat kuno adalah Kawung. Pola dengan motif-motif Ceplok ini terinspirasi oleh bentuk buah Kawung (buah Atap atau buah Aren) yang dibelah empat. Keempat bagian buah bersama intinya tersebut melambangkan empat arah (penjuru) utama mata angin. Pada dasarnya, ceplok merupakan kategori ragam hias berdasarkan pengulangan bentuk geometri, seperti segi empat, empat persegi panjang, bulat telur, atau bintang, serta masih banyak lagi varian lainnya.
Motif batik Sidoluhur mempunyai makna keluhuran. Setiap orang Jawa beranggapan bahwa tujuan hidup adalah mencapai keluhuran materi dan non materi. Motif batik Sidoluhur ini juga bermakna, bahwa orang tidak saja hidup untuk dirinya sendiri, namun dia juga harus hidup untuk keluarga, lingkungan, masyarakat, dan Tuhan. Selain berpadu dengan motif Sidoluhur, Garuda juga sering terlihat serasi ber-padu padan dengan motif Sidomukti, yang mempunyai makna tingkat kehidupan yang selalu didambakan oleh banyak orang Jawa. Mukti berarti kemakmuran, baik itu hidup makmur di dunia maupun di akhirat.