Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad atau lebih dikenal Raja Ali Haji lahir pada 1809 di Pulau Penyengat, Riau. Ia sejatinya keturunan Bugis. Kakeknya, Raja Haji adalah pahlawan Melayu-Bugis, yang pernah menjabat Yamtuan Muda (atau perdana menteri ke-4) pada Kesultanan Johor-Riau. Darah sastrawan menurun dari ayahnya. Pangeran Riau pertama yang pergi haji itu merupakan orang pertama penyusun epos sejarah orang Bugis di Melayu dan hubungannya dengan raja-raja Melayu.
Semasa kecilnya, Raja Ali Haji seringkali mengikuti perjalanan ayahnya ke berbagai daerah, untuk berdagang, termasuk pergi haji. Berbekal pengalaman ini, ia tumbuh jadi pemuda yang berwawasan luas. Dalam usianya yang sangat muda, ia dikenal sebagai salah satu ulama yang seringkali diminta fatwanya oleh pihak kerajaan. Ia juga menjadi pembimbing bagi guru-guru agama di Riau. Di usia 20 tahun, Raja Ali Haji sudah diamanahi tugas kenegaraan yang penting. Sementara saat usianya 32 tahun, bersama sepupunya, ia dipercaya memerintah wilayah Lingga untuk mewakili Sultan Mahmud Muzaffar Syah, yang kemudian ia diangkat sebagai penasihat keagamaan negara. Memiliki posisi penting di pemerintahaan tak membuat produktivitasnya dalam menulis surut. Raja Ali Haji banyak memberikan kontribusi di bidang keagamaan, kesusastraan Melayu, politik, sejarah, filsafat, dan juga hukum.
Di bidang sastra Melayu, karyanya yang berjudul Hikayat Abdul Muluk (1846) dianggap sebagai karya sastrawan Riau yang pertama kali diterbitkan. Karya-karya Raja Ali Haji dikenal dengan kekhasannya yang selalu berakar pada syariat Islam dan tradisi Melayu. Karya lainnya yang terkenal adalah buku yang berjudul Intizam Wazaif al Malik (Peraturan Sistematis tentang Tugas-Tugas Raja). Buku ketatanegaraan yang berisi nasihat terhadap perilaku raja dan aturan pemerintahan secara Islam ini dibuat untuk memperingati wafatnya Yamtuan Muda Raja Ali bin Raja Jafar pada 1857. Karya lainnya yaitu buku yang berjudul Samarat al-Muhimmah Difayah li al-Umara wa al-Kubara wa li ahl al-Mahkamah (Pahala dari Tugas-tugas Keagamaan bagi Para Pemimpin, Pembesar, dan para Hakim). Buku ini menjadi puncak karya Raja Ali Haji di tahun 1859. Dalam buku ini, secara tegas ia menyatakan bahwa seorang raja yang melalaikan tugasnya dan mendurhakai Allah SWT, tidak dapat diterima sebagai penguasa lagi, dan jabatannya harus diserahkan kepada orang yang lebih tepat.
Raja Ali Haji sangat mengagumi sosok Imam Ghazali. Pengaruh Al Ghazali sangat terasa dalam caranya menggambarkan sosok raja ideal yang seharusnya bisa menahan diri dari hal-hal yang bersifat duniawi dan lebih mementingkan mengurus umat. Selain itu, pemikiran politiknya juga dipengaruhi oleh ulama seperti Ibnu Taimiyah dan Abu al-Hasan Ali bin Muhammad Habib al-Mawardi.
Karya lainnya yang monumental adalah buku berjudul Tuhfah an-Nafis atau Hadiah yang Berharga (1860). Karya ini sebenarnya merupakan karya Raja Ahmad yang disunting dan disempurnakan oleh Raja Ali Haji. Buku ini bercerita tentang sejarah kesultanan Johor Riau, sejak berdiri di Palembang hingga kemudian berdiri di Singapura. Buku-buku lainnya adalah Silsilah Melayu dan Bugis (1859) yang mengisahkan pengalaman lima orang Bugis bersauadara sebagai nenek moyang Pangeran Penyengat. Dua karya di atas merupakan warisan yang sangat berharga bagi sejarah Sumatera, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya.
Karya lainnya adalah buku berjudul Bustan al-Katibin li as Sibyan al-Mutaallimin atau Taman Para Penulis dan Pencari Ilmu (1875). Lalu buku berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa. Sayangnya, kedua buku ini belum rampung karena Raja Ali Haji wafat di tahun 1870. Kedua buku ini berisi tentang pandangan Raja Ali Haji yang menyatakan bahwa satu-satunya jalan untuk mengatasi hawa nafsu dan permasalahan adalah dengan taat kepada hukum Allah SWT yang digariskan dalam Alquran. Bukunya yang lain adalah Gurindam Duabelas, Siti Sianah, Suluh Pegawai, Taman Pemrata, dan Sinar Gembala Mustika Alam.
Penyair Indonesia, Chairil Anwar mulai dikenal dalam dunia sastra setelah pemuatan tulisannya di Majalah Nisan (1942), saat itu ia baru berusia 20 tahun. Namun, saat pertama kali mengirimkan puisi-puisinya di "Majalah Pandji" untuk dimuat, banyak yang ditolak karena dianggap terlalu individualistis dan hampir semua puisi-puisi yang ditulisnya merujuk pada kematian. Ia juga dikenal sebagai “Si Binatang Jalang” melalui karya-nya, "Aku". Banyak tema karya sastra puisi yang ia tulis, di antaranya menyangkut pemberontakan, kematian, individualisme, eksistensialisme, dan multi-intepretasi. Penyair yang menguasai beberapa bahasa asing seperti Inggris, Belanda, dan Jerman ini telah menulis sebanyak 94 karya, termasuk 70 puisi. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 sekaligus tokoh puisi modern Indonesia.
Chairil Anwar dilahirkan di Medan, Sumatra Utara pada 26 Juli 1922. Ia merupakan anak tunggal dari pasangan Toeloes dan Saleha, ayahnya berasal dari Taeh Baruah. Ayahnya pernah menjabat sebagai Bupati Kabupaten Inderagiri, Riau. Sedangkan ibunya berasal dari Situjug, Limapuluh Kota. Ia masih punya pertalian kerabat dengan Soetan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Chairil Anwar meninggal di usia yang masih cukup muda, yaitu 26 tahun, pada tanggal 28 April 1949 di Jakarta
Chairil Anwar dibesarkan dalam keluarga yang terbilang kurang beruntung. Orang tuanya bercerai, dan ayahnya menikah lagi. Nenek-nya adalah teman akrab yang mengesankan hidupnya sejak kecil, hingga kepedihan mendalam sempat ia alami saat neneknya meninggal dunia. Selain itu, ibu adalah wanita yang paling Chairil cintai. Di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar dan beberapa puisinya juga menunjukkan kecintaannya tersebut. Pada usia 19 tahun, Chairil pindah ke Batavia bersama ibunya (1940) dimana ia mulai kenal dan serius menggeluti dunia sastra. Ketika menjadi penyiar radio Jepang, Chairil jatuh cinta kepada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Kemudian ia memutuskan untuk menikah dengan Hapsah Wiraredja pada 6 Agustus 1946. Mereka dikaruniai seorang putri bernama Evawani Alissa, namun karena masalah ekonomi, mereka akhirnya bercerai pada akhir tahun 1948.
Chairil Anwar bersekolah di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar pada waktu itu. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia mulai menulis puisi ketika remaja, tetapi tidak satupun puisi yang berhasil ia buat yang sesuai dengan keinginannya. Meskipun tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, ia tidak membuang waktunya sia-sia, ia mengisi waktunya dengan membaca karya-karya pengarang Internasional ternama.
Salah satu puisinya yang paling terkenal dan sering dideklamasikan berjudul Aku ("Aku mau hidup Seribu Tahun lagi!"). Chairil Anwar pertama kali membaca "AKU" di Pusat Kebudayaan Jakarta pada bulan Juli 1943. Selain menulis puisi, ia juga menerjemahkan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia. Dia juga pernah menjadi redaktur ruang budaya Siasat "Gelanggang" dan Gema Suasana. Dia juga mendirikan "Gelanggang Seniman Merdeka" pada tahun 1946.
Kumpulan puisinya antara lain: Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (1949); Deru Campur Debu (1949), Tiga Menguak Takdir (1950 bersama Seniman Pelopor Angkatan 45 Asrul Sani dan Rivai Apin), Aku Ini Binatang Jalang (1986), Koleksi sajak 1942-1949", diedit oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986); Derai-Derai Cemara (1998). Buku kumpulan puisinya berjudul Aku ini Binatang Jalang (1986). Karya-karya terjemahannya adalah: Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948, Andre Gide); Kena Gempur (1951, John Steinbeck). Karya-karyanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol antara lain “Sharp gravel, Indonesian poems”, oleh Donna M. Dickinson (Berkeley, California, 1960); “Cuatro poemas indonesios, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati” (Madrid: Palma de Mallorca, 1962); Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963); “Only Dust: Three Modern Indonesian Poets”, oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969).