Setiap bangsa pasti memiliki catatan perjalanan bangsanya, tak terkecuali Indonesia. Sebagai bangsa yang memiliki beragam etnik dan budaya, Indonesia memiliki catatan panjang tentang kehidupan masyarakatnya, sosial budaya, pemerintahan dan sebagainya. Perjalanan dari jaman pra sejarah itu banyak sekali meninggalkan cacatan yang terangkum dalam naskah-naskah kuno atau dokumen sebagai sumber data penting bagi masyarakat Indonesia bahkan dunia.
Naskah kuno mengandung informasi yang berlimpah. Isi naskah tidak hanya terbatas pada kesusasteraan, tetapi mencakup berbagai bidang kehidupan manusia dan makhluk hidup seperti : Agama, sejarah, hukum, adat-istiadat, obat-obatan, teknik, filsafat dan sebagainya. Oleh sebab itu para ahli di berbagai bidang ilmu dapat memanfaatkan data yang terpendam dalam koleksi naskah. Para sejarawan misalnya sudah lama menggunakan teks-teks naskah kuno yang sudah diterbitkan oleh para filolog. Sementara naskah yang belum diterbitkan masih banyak, bahkan masih banyak yang disimpan oleh masyarakat setempat.
Naskah Nusantara dalam bentuk babad, misalnya atau teks yang menyebut dirinya sejarah dapat pula dipakai sebagai sumber penulisan sejarah lokal, meskipun di dalamnya banyak ditemukan juga hal-hal yang tidak sesuai dengan kaedah sejarah. Naskah sebagai sumber budaya lokal non-material juga mengandung berbagai pemikiran, pengetahuan, adat-istiadat serta perilaku masyarakat pada masa lalu yang jauh lebih besar keberadaannya. Di antara berbagai kategori Naskah Nusantara, kita dapat mengetahui bagaimana perspektif budaya daerah tertentu serta perjalanan kehidupan makhluk hidup dari masa lampau.
BABAD DIPANEGARA adalah kronik otobiografi bangsawan Jawa dan pahlawan nasional Indonesia, Pangeran Dipanegara 1785-1855 secara harfiah berarti "Cahaya Negara" dari Yogyakarta. Babad Dipanegara yang ditulis dalam pengasingan di Sulawesi Utara (Celebes) pada tahun 1831-1832 adalah catatan pribadi seorang tokoh kunci dalam sejarah Indonesia modern. Ini juga mungkin merupakan dokumen otobiografi pertama dalam sastra Jawa modern yang menunjukkan kepekaan yang tidak biasa terhadap kondisi lokal pada saat itu. Seorang pangeran Yogyakarta yang hidup melalui masa transisi yang sulit dari orde lama Jawa melalui masa-masa Marshal Herman Willem Daendels (menjabat 1808-1811), Thomas Stamford Raffles (menjabat 1811-16), Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. van der Capellen (menjabat 1816-26), dan Perang Jawa (1825-30) hingga periode kolonial terakhir 1830-1942. Kehidupan Dipanegara merangkum paradoks era globalisasi modern yang disebabkan oleh revolusi politik dan industri pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 di Eropa. Pangeran Dipanegara melihat dirinya berperan sebagai orang Jawa, Ratu Adil yang dikirim untuk memulihkan tatanan moral di Jawa, sebuah tatanan berdasarkan perpaduan unik kepercayaan Jawa dan Islam. Dipanegara adalah pengikut tarekat Satariyah dan Naqsabandiyah yang menghubungkannya dengan dunia Islam internasional melalui jaringan ulama yang membentang di Samudera Hindia. Dia juga pengagum Kekaisaran Ottoman yang dia tahu dari laporan para peziarah Mekah yang kembali (haji) pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19.
Pangeran Dipanegara adalah pemimpin perjuangan lima tahun melawan Belanda yang dikenal sebagai Perang Jawa 1825-1830. Beliau membuat jaringan lintas wilayah yang luas dari masyarakat Jawa melawan negara kolonial. "Perang suci" (perang sabil) nya dalam beberapa hal digambarkan sebagai gerakan nasionalis Indonesia pada awal abad kedua puluh dengan perpaduan identitas nasional Jawa dan Islam. Perjuangan ini juga memiliki konsekuensi internasional yang melibatkan antara lain, Inggris dan India Britania, yang pasukan sepoy dari Benggala diminta sebagai bala bantuan oleh Panglima Belanda di Jawa, Hendrik Merkus de Kock 1779-1845 di tahun kedua dan ketiga perang (1827-8) untuk membantu gelombang pertempuran di koloni Belanda (NA, Ministerie van Kolonien 2923, Verbaal, 6-03-1827, Litt JI).
Pangeran Dipanegara akhirnya ditangkap oleh Belanda di Magelang pada akhir Perang Jawa (28 Maret 1830) dan diasingkan ke Manado di Sulawesi Utara. Belanda akhirnya memindahkan pangeran ke selatan ke benteng Makassar yang lebih kuat di Sulawesi Selatan (Celebes) pada Juni 1833 (Carey 2008: 734-40). Pangeran Dipanegara akhirnya meninggal dalam penahanan di sana pada bulan Januari 1855.
Meskipun dikalahkan, ditangkap dan diasingkan oleh Belanda pada "konferensi perdamaian", nama Dipanegara tetap hidup. Setelah Indonesia merdeka pada Agustus 1945, beliau menjadi pahlawan nasional (10 November 1973). Beberapa institusi negera juga mengabadikan namanya misalnya, Universitas Negeri Semarang (yang mengubah namanya dari Universitas Semarang menjadi Universitas Diponegoro di bawah desakan Presiden Sukarno pada Oktober 1960 dan Komando Daerah Militer Diponegoro.
Naskah Babad Dipanegara saat ini disimpan di Perpustakaan Nasional di Jakarta dengan nomor koleksi KBG 282. Naskah ditulis menggunakan aksara pegon dan bahasa Jawa. Naskah merupakan satu-satunya versi naskah yang bertahan dari naskah asli yang ditulis pada tahun 1831-1832 (Notulen 1878: 13, 35). Naskah asli yang disimpan sebagai pusaka keluarga oleh keluarga pangeran setelah kematiannya di Fort Rotterdam di Makassar pada tanggal 8 Januari 1855 itu, disalin atas perintah sarjana Belanda dan anggota kehormatan (Koninklijk) Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, AB Cohen Stuart 1825-1876, pada pertengahan 1860-an. Sementara itu, naskah asli, dari mana salinan ini dibuat, kemudian dikembalikan ke keluarga Diponegoro di Makassar (Notulen 1877: 94) dan sekarang tidak ada lagi.
CERITA PANJI adalah cerita yang digubah dan mulai dikenal pada masa Kerajaan Majapahit. Cerita Panji digubah oleh pujangga lokal dengan latar lokal yang menggambarkan kerajaan-kerajaan yang ada di tanah Jawa. Kisah Panji berbeda dengan kisah yang mengacu pada kesusastraan India seperti Ramayana dan Mahabarata. ciri yang menandai bahwa Kisah Panji sebenarnya adalah narasi khas Jawa zaman Majapahit, jadi bukan saduran atau petikan dari epos-epos India yang telah dikenal sebelumnya. Apabila diuraikan satu persatu butir-butir penanda karya ke-jawaan pada kisah-kisah Panji antara lain sebagai berikut:
1. Kerangka cerita merupakan gubahan asli yang sebelumnya tidak pernah dikenal, bahwa ada putra-putri raja yang telah dipertunangkan kemudian menghilang dari istana, dan mereka saling mengecmbara untuk akhirnya bertemu kembali.
2. Tokoh-tokoh merupakan ciptaan baru, bukan kisah para ksatrya dari epos India. Menurut Zoetmulder tokoh-tokoh ksatrya itu bukannya ksatria-ksatria India yang bergerak di alam Jawa, melainkan ksatrya dari keraton-keraton Jawa sendiri yang berperanan dalam Kisah Panji (1983: 534).
3. Nama-nama tokoh juga memakai nama khas masa Singhasari-Majapahit (abad ke-13-15 M), antara lain dengan menggunakan sebutan hewan seperti lembu, undakan (kuda), gajah, kebo (kerbau), mahesa, dan lain-lain yang juga dikenal dalam karya sastra se-zaman lainnya (Poerbatjaraka 1968: 406).
4. Uraian tentang kehidupan keraton-keraton di Jawa, keraton yang penting adalah Koripan atau Kahuripan (disebut pula Janggala atau Keling), Daha (Kadiri atau juga Mamenang), Gegelang di wilayah Urawan, dan Singhasari. Semua itu adalah keraton-keraton yang pernah ada di Jawa pada zamannya, jadi bukan perihal keraton Hastinapura, Dvarawati, atau Indraprastha yang terletak di India.
5. Nama-nama tempat, pertapaan, daerah, negara, gunung, sungai, dan nama geografis lainnya juga berlokasi di Jawa, bahkan beberapa di antaranya masih dapat dikenali hingga sekarang.
Cerita Panji sampai saat ini tidak hanya dikenal di Jawa, melainkan sudah menyebar ke dalam berbagai tradisi dan lintas negara seperti Malaysia, Kamboja dan Thailand. Di Indonesia sendiri Cerita Panji dikenal mulai dari Bali, Jawa, dan Melayu serta didokumentasi dalam berbagai bentuk kesenian seperti seni pertunjukan, seni tari, seni lukis, dan seni sastra.
Karya sastra yang tercipta dari kesusastraan Jawa banyak yang mengangkat tema Panji dengan berbagai versinya. Salah satu versi Cerita Panji yang terkenal adalah Panji Jayakusuma. Panji Jayakusuma Salah satu naskah Panji Jayakusuma saat ini disimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan nomor koleksi KBG 139. Naskah Panji Jayakusuma ditulis di atas kertas Eropa dengan banyak ilustrasi di dalamnya. Naskah berukuran 21.5 x 27.5 cm dengan halaman berjumlah 734 halaman. Naskah ditulis menggunakan aksara dan bahasa Jawa. Pada tahun 2017, UNESCO mengakui dan mencatatkan Cerita Panji sebagai Memory of the World (MoW).
LA GALIGO adalah sebuah epik mitos penciptaan peradaban Bugis di Sulawesi Selatan. Naskah ditulis antara abad 13 - 15. Naskah ditulis dalam bentuk puisi berbahasa Bugis. Puisi terdiri dari sajak bersuku lima. Selain menceritakan kisah asal-usul manusia, juga tentang Sawerigading, seorang pahlawan yang gagah berani dalam perantauannya. Naskah juga difungsikan sebagai almanak praktis dalam kehidupan sehari-hari. Epik berkembang dalam masyarakat Bugis yang sebagian besar melalui tradisi lisan. La Galigo masih dinyanyikan pada berbagai kesempatan upacara adat hingga saat ini. Naskah berisi 6.000 halaman atau 300.000 baris teks. La Galigo menjadi dikenal di khalayak internasional setelah diadaptasi dalam pertunjukan drama I La Galigo oleh Robert Wilson, sutradara asal Amerika Serikat, pada tahun 2004.
Karya La Galigo mengandung banyak aturan normatif yang dinyatakan secara implisit atau eksplisit, yang dengannya bangsawan berperilaku. Perilaku mereka dianggap sebagai teladan bagi masyarakat luas. Terlepas dari aturan-aturan ini, banyak informasi berguna diberikan tentang etiket dan semua jenis upacara. Bagi banyak orang Bugis peristiwa yang terkait di Galigo dianggap benar. Dalam hubungan ini, menarik untuk menyebutkan bahwa silsilah para bangsawan dalam masyarakat Bugis yang berorientasi pada keturunan sering ditelusuri kembali ke zaman Galigo, lebih disukai ke Sawerigading.
Naskah kuno La Galigo banyak ditemukan di seluruh dunia dan tak perlu disangkal lagi bahwa setiap naskah benar-benar produk dari warisan sastra Indonesia lama - terlepas dari keberadaannya saat ini. Mayoritas naskah ini tetap berada di Sulawesi Selatan, Indonesia, dalam koleksi publik dan pribadi. Naskah La Galigo lainnya tersimpan seperti Jakarta (Indonesia), Leiden (Belanda), London dan Manchester (Inggris), Berlin (Jerman), dan Washington DC (Amerika Serikat). Karya ini sangat besar sehingga tidak ada naskah yang berisi seluruh karya. La Galigo yang tersebar di seluruh dunia semuanya mengandung fragmen-fragmen karya, beberapa di antaranya merupakan episode yang sangat besar, yang lainnya cukup kecil. Dari sudut pandang filologis masing-masing naskah ini memiliki nilai dan kepentingan yang sama.
Salah satu naskah La Galigo saat ini disimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan nomor VT 125 J. Naskah terbuat dari kertas berwarna coklat berukuran 34 x 21.5 cm berjumlah 77 halaman. Naskah tersebut merupakan salah satu fragmen dari sekian banyak fragmen La Galigo yang ada saat ini. Pada tahun 2011 Unesco mengakui dan mencatatkan La Galigo sebagai Memory of the World (MoW).
Naskah NAGARTAKRETAGAMA ditemukan pada 18 November 1894 oleh Dr. J. Brandes di kompleks istana Raja Bali di Cakranegara, di pulau Lombok. Atas perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Dr Brandes, diikutkan pada staf pasukan militer yang terlibat dalam perang di Lombok, dengan maksud untuk melestarikan semua objek budaya terutama manuskrip dari penghancuran. Nagarakretagama atau Desawarnana ditulis pada tahun 1365 M oleh Mpu PrapaƱca. Saat ini, sekurangnya terdapat tiga manuskrip, salah satunya sekarang di koleksi Perpustakaan Nasional bernomor NB 9, sebelumnya dikenal sebagai Codex Orientalis 5023 dari Legatum Warnerianum, Perpustakaan Universitas Leiden. Pada saat itu naskah Nagarakretagama itu unik. Naskah tersebut direpatriasi ke Indonesia dari Belanda pada tahun 1974.
Nagarakretagama menceritakan kerajaan Majapahit yang merupakan kerajaan Hindu terakhir dari kepulauan Melayu dan dianggap sebagai salah satu kerajaan terbesar dalam sejarah Indonesia. Pengaruhnya meluas ke negara-negara di Sumatra, Semenanjung Melayu, Kalimantan, dan Indonesia bagian timur. Sejumlah naskah kuno dan prasasti yang ditemukan memberikan bukti tentang stabilitas wilayah dan pemerintahan yang baik di negara itu. Bukti yang kuat dalam prasasti menyebutkan pemerintahan Raja Hayam Wuruk yang didukung oleh Patih Amangkubumi bernama Gajah Mada telah berhasil mengubah Majapahit menjadi kerajaan yang hebat dan bergengsi, berkembang secara sosial, ekonomi maupun politik.
Dalam Canto 13, beberapa wilayah di Sumatra disebutkan, dan beberapa mungkin sesuai dengan wilayah kontemporer: Jambi, Palembang, Teba (Muara Tebo), dan Dharmasraya. Juga disebutkan Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar dan Pane, Kampe, Haru dan Mandailing. Tumihang (Tamiang), Parlak (Perlak) dan Lawas. Samudra, Lamuri, Batan (Bintan), Lampung, dan Barus. Juga tercantum adalah negara bagian Tanjungnegara: Kapuas, Katingan, Sampit, Kota Lingga, Kota Waringin, Sambas, dan Lawai. Di Canto 14 lebih banyak wilayah dicatat: Kadandangan, Landa, Samadang, Tirem, Sedu, Burune, Kalka, Saludung, Solot, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, dan Tunjung Kutei. Di, Pahang, Hujung Medini. Berikutnya Langkasuka, Saimwang, Kelantan dan Trengganu, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang, dan Kedah, Jerai (Gunung Jerai), dan Kanjap. Juga di Canto 14 adalah wilayah timur Jawa: Badahulu, Lo Gajah, Gurun dan Sukun, Taliwang, Sapi, Dompo, Bima, Seram, Bantayan, Luwuk. Juga disebutkan adalah Makassar, Buton, Bangawi, Kunir, Galiyau, Salaya, Sumba, Solot, Muar. Juga pulau Wandan Ambon atau Maluku, Wanin, Seran, Timor dan pulau lainnya.
Naskah Nagarakretagama terbuat dari lontar (palm leaf) berukuran 48,5 x 3,5 cm terdiri dari 45 lempir (lembar), ditulis menggunakan aksara Bali dengan bahasa Jawa Kuno. Pada tahun 2013, UNESCO mengakui dan mencatatkan Nagarakretagama sebagai Memory of the World (MoW) bersama dengan naskah dari Indonesia lainnya yaitu Babad Dipanegara.
Dari berbagai sumber dan Perpustakaan Nasional