Geopark Ciletuh-Palabuhanratu adalah konsep manajemen pengelolaan dan pengembangan kawasan yang menyerasikan keragaman geologi, hayati, dan budaya, melalui prinsip konservasi, edukasi, dan rencana tata ruang wilayah serta pembangunan yang berkelanjutan, di kawasan Sukabumi, Jawa Barat. Taman Bumi Nasional Palabuhanratu (Masyarakat sering menyebutnya) adalah satu-satunya geopark di Jawa Barat, yang juga menjadi obyek wisata baru sekaligus Geopark Nasional yang diakui UNESCO tahun 2015. Saat ini Geopark Ciletuh-Palabuhanratu telah diakui dunia sebagai Ciletuh-Palabuhanratu Unesco Global Geoparks.
Geopark Ciletuh-Palabuhanratu merupakan wilayah geografis yang memiliki situs warisan geologi terkemuka dan bagian dari konsep holistic perlindungan, pendidikan dan pembangunan yang berkelanjutan. Geopark tidak hanya mencakup situs geologi , tetapi memiliki batas geografis yang jelas serta sinergitas antara keragaman geologi, hayati dan budaya di kawasan tersebut. Masyarakat yang tinggal di kawasan turut berperan serta melindungi dan meningkatkan fungsi warisan alam geopark dengan semboyannya: “Memuliakan Bumi, Mensejahterakan Masyarakat”.
Keragaman geologi menurut Gray (2004) didefinisikan sebagai rentang keragaman dari aspek (keistimewaan dan tampilan) dari geologi, geomorfologi dan pembentukan tanah. Secara sederhana keragaman geologi mencakup semua material, struktur dan proses yang menyusun dan membentuk bumi. Dua hal utama sebagai alasan mengapa keragaman geologi tersebut harus dikonservasi. Pertama, keragaman geologi sangat penting dan berharga ditinjau dari berbagai kepentingan. Kedua, saat ini keragaman geologi sedang terancam oleh berbagai macam aktifitas manusia. Sehingga, sebagai ukuran dari sebuah masyarakat yang beradab dan maju, jika masyarakat mau melindungi dan melestarikan unsur-unsur dari planet yang berharga dan terancam.
Salah satu hal paling sederhana untuk mewujudkan fungsi konservasi tersebut, antara lain dengan mengabadikan dan mendokumentasikan obyek geologi tersebut ke dalam prangko. Di sepanjang pesisir pantai Ciletuh terdapat sejumlah objek batuan yang berbentuk unik menyerupai berbagai jenis binatang. Batuan unik tersebut merupakan batuan sedimen berjenis batupasir kuarsa sebagai bagian dari Formasi Ciletuh yang berumur lebih dari 45 juta tahun yang diendapkan di laut dalam. Karena proses geologi, batuan tersebut terangkat ke permukaan, dan mengalami proses erosi dan abrasi oleh ombak sehingga menghasilkan bentuk-bentuk unik seperti sekarang. Salah satunya, Batu Kodok yang dapat diakses dengan perahu sekitar 30 menit dari pantai Palangpang atau Cikadal. Gelombang laut biasanya sangat besar dan berbahaya di luar bulan April hingga November di sekitar bebatuan ini, sehingga perahu tidak bisa merapat dan mendarat di lokasi ini.
Geopark Ciletuh-Palabuhanratu memiliki bentang alam plato berbentuk tapal kuda (amfiteater) yang terbuka ke arah Teluk Ciletuh. Amfiteater memiliki dimensi hampir 15 x 9 km2 dan diyakini sebagai bentukan amfiteater alami terbesar di Indonesia. Di tengah amfiteater, terdapat persebaran formasi batuan tertua di Jawa bagian barat dalam bentuk melange dan kompleksofiolit yang terbentuk akibat aktivitas subduksi antara lempeng benua dan samudera pada zaman kapur, dan diyakini sebagai formasi tertua di Jawa Barat. Keterdapatan singkapan batuan dengan tipe ini sangatlah jarang dan sangat penting dalam memahami proses geologi.
Puncak Darma sebagai salah satu representasi lingkungan hayati di kawasan Ciletuh merupakan sang primadona yang wajib dikunjungi. Puncak Darma adalah sebuah puncak yang berada di atas ketinggian sekitar 230 m dari permukaan laut, dimana kita dapat menyaksikan secara langsung dan lebih dekat pemandangan indah dan utuh Geopark Ciletuh-Palabuhanratu. Dari puncak ini kita bisa melihat lautan lepas, pulau-pulau kecil, Teluk Ciletuh, pematang sawah nan hijau yang menyegarkan mata, bukit-bukit, dan juga curug-curug yang terlihat dari kejauhan. Sungguh indah! Di lokasi ini, pengunjung juga dapat memanjakan dirinya melalui olah raga paralayang.
Curug (Bahasa Sunda) atau air terjun dapat terbentuk karena adanya aliran air, proses erosi, serta pengaruh gravitasi bumi. Pada akhirnya, aliran air akan memiliki kemiringan yang hampir tegak atau benar-benar tegak, sehingga terbentuklah air terjun. Satu dari sekian banyak curug indah yang terdapat di Ciletuh adalah Curug Cimarinjung. Air terjun yang tampil cantik di Souvenir Sheet ini berada di Kampung Cimarinjung, Desa Ciwaru, Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi. Nama air terjun Cimarinjung ini diambil dari nama desa atau kampung tempat keberadaannya. Lokasinya berada di aliran Sungai Cimarinjung yang berada pada ketinggian 100 meter diatas permukaan air laut. Sungai Cimarinjung ini juga merupakan salah satu sungai yang bermuara ke Teluk Ciletuh di Samudera Hindia. Selain terdapat Curug Cimarinjung, pada aliran sungai tersebut juga terdapat dua buah curug lain, yaitu Curug Dogdog yang bentuknya panjang seperti dogdog alat musik tabuh tradisional dari Jawa Barat, dan Curug Nyelempet karena aliran airnya sempit-sempit, diambil dari bahasa sunda nyelempet. Dengan lokasi yang berada di tebing batu berwarna coklat kemerahan, ditambah tumbuhan hijau yang merambat di tebing batunya, akan membuat kita merasa seolah sedang berada di era Jurassic.
Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar yang tinggal di sekitar Ciletuh konsisten menjalankan tatanan leluhur, terutama sistem pertanian. Terdapat kurang lebih 160 jenis varietas padi yg ditanam di Kasepuhan Ciptagelar. Hasil panen padi tidak boleh diperjual-belikan. Termasuk semua turunan beras seperti nasi dan kue berbahan dasar tepung beras. Nama Kasepuhan Ciptagelar untuk masyarakat pencinta budaya tentu sudah tidak asing lagi di telinga. Keteguhan mereka dalam memertahankan tradisi leluhur menjadi warna yang melekat erat pada kesehariannya. Tidak ada waktu yang terlewat tanpa lelaku spiritual dengan lantunan do’a-do’a yang menembus belantara hutan rimba. Sejauh mata memandang, akan terlihat hamparan padi dan lebatnya pepohonan yang melingkupi perkampungan Ciptagelar. Selain Leuit (lumbung padi) si Jimat dan Imah Gede yang mengkudeta mata, akan dijumpai para lelaki yang memakai ikat kepala dan perempuan yang mengenakan Sinjang atau kain samping mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat Ciletuh-Palabuhanratu. Geopark Ciletuh-Palabuhanratu masih memiliki banyak situs dan bangunan sisa budaya dari zaman megalitik, penjajahan Belanda dan Jepang, serta zaman setelah kemerdekaan. Situs-situs itu tersebar hampir di semua tempat yang ada di kawasan geopark.
(Dari berbagai sumber)