Shio sudah dikenal sejak tahun 2637 SM, ketika Kaisar Huang Ti memulai putaran pertama dari zodiak tersebut pada tahun pemerintahannya yang ke 61. Tidak seperti astrologi barat yang berdasarkan pada peredaran planet-planet dalam tata surya, astrologi cina didasarkan pada kalender bulan yang dimulai pada akhir bulan Januari sampai pertengahan Februari setiap tahun, tergantung pada tanggal jatuhnya bulan baru. Setiap tahun dalam kalender cina dilambangkan dengan 12 binatang yang dipercaya mewakili karakter tahun dan orang-orang yang dilahirkan pada tahun tersebut. Shio adalah zodiac yang menggunakan simbol-simbol hewan untuk melambangkan tahun, bulan dan waktu dalam astrologi tionghoa.
Pada awal tahun 2019 ini, Indonesia menerbitkan prangko seri Shio Babi dengan menampilkan profil babi pada artefak-benda peninggalan sejarah Nusantara. Babi merupakan perlambang kejujuran, kesederhanaan dan keuletan yang luar biasa, serta gagah dan juga lambang kekuatan. Watak orang dengan shio babi akan mengabdikan dirinya pada tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya dengan sekuat tenaga dan dapat diandalkan untuk menyelesaikannya. Namun, dia juga manusia paling wajar yang pernah Anda temui. Warga shio ini populer dan banyak dicari orang, karena sebagaimana juga kambing dan kelinci, babi selalu ingin mewujudkan keharmonisan diantara sesama. Shio Babi Tanah merupakan sosok yang tenang, wajar, periang, dan punya banyak akal. Unsur tanah menjadikannya produktif. Ia senang beraktivitas yang berhubungan dengan pengumpulan dana. Shio Babi Tanah akan merencanakan masa depannya sendiri dan menentukan target yang harus dicapai. Ia tidak akan berhenti sebelum mencapai targetnya. Kemauannya keras, sanggup menanggung tekanan, mampu memikul beban yang tak mampu dipikul orang lain. Shio Babi Tanah rajin, bersemangat, tekun, dan mengabdikan diri pada pekerjaan serta keluarganya. Ia akan menemukan ketentraman dan sukses materi dan senantiasa mencari kehidupan yang tenang dalam keluarga yang harmonis.
Celengan sebagaimana desain prangko yang ditampilkan kali ini, merupakan nama umum untuk kotak akumulasi atau penabungan koin, yang umumnya digunakan oleh anak-anak. Celengan biasanya terbuat dari keramik atau porselen yang bertujuan untuk mengajarkan kepada anak agar gemar menabung. Pada celengan tradisional, uang dapat dengan mudah dimasukkan, namun jika ingin mengambil uangnya, celengan tersebut harus dipecahkan. Itulah sebabnya beberapa celengan babi kuno sering ditemukan oleh arkeolog dalam keadaan pecah berkeping-keping sehingga perlu direkonstruksi lagi untuk menjadikannya bentuk utuh kembali. Seperti halnya babi, “celeng”, sebutan orang jawa untuk babi hutan, juga memiliki sifat-sifat subur, seleranya besar dan suka berkubang. Dengan demikian celeng juga menjadi simbol kemakmuran, keberuntungan dan penghubung antara manusia dengan bumi.
Bukti penting persepsi masyarakat terhadap uang tergambarkan dalam wujud celengan babi dengan lubang di punggungnya untuk memasukkan uang logam. Meskipun bentuknya bisa manusia, guci, atau binatang lain selain babi, namun sebutan yang dipilih adalah celengan, kata celengan agaknya baru diperkenalkan oleh Masyarakat Jawa pada masa kemudian, karena bahasa Jawa Kuno hanya mengenal kata celeng (babi atau babi hutan) dan pacelengan (kandang babi).
Dimasa lalu, sejumlah besar celengan, telah digali di sekitar Wilwatikta (Trowulan), ibukota kerajaan Majapahit. Beberapa di antaranya dipajang di Museum Nasional Indonesia di Jakarta. Sayangnya, banyak di antara celengan tersebut ditemukan dalam keadaan rusak dan berupa kepingan atau pecahan. Uniknya, beberapa celengan dari Majapahit tersebut ditemukan masih berbentuk sesuai aslinya, lengkap sebagaimana profil seekor babi yang utuh. Pembuatan celengan ternyata telah berkembang sekitar abad ke-14. Temuan ini menggambarkan perubahan ekonomi di kerajaan Majapahit yang ditandai dengan munculnya usaha dan pekerjaan yang lebih terspesialisasi, pembayaran dengan upah, dan perolehan barang kebutuhan sehari-hari dengan cara jual-beli. Tempat menyimpan uang tertua pertama berupa celengan berbentuk babi yang terbuat dari terakota (tanah liat) di Majapahit tersebut merupakan simbol kemakmuran kota kerajaan di masa itu.
Dengan semakin berkembangnya waktu, celengan babi dianggap tak lagi mampu bertahan, karena seperti yang diketahui, sebagian besar celengan tanah liat itu perlu dipecahkan setelah terisi penuh. Meski masih ada yang memanfaatkan celengan di era modern ini, bentuk celengan-pun telah berubah. Media alternatif penyimpanan uang tersebut kini dominan berbahan dasar plastik, kayu, aluminium, atau keramik. Bahkan sebagian masyarakat modern saat ini dominan memanfaatkan perbankan untuk hal-hal yang terkait dengan keuangan.
(Dari berbagai sumber)