Dokter Moewardi biasa disebut “Dokter Gembel”, karena kesenangannya bergaul dengan para gembel atau kaum miskin sekaligus orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Dia lahir di Pati, Jawa Tengah tahun 1907 - wafat di Surakarta, Jawa Tengah, 13 Oktober 1948. Moewardi adalah dokter lulusan School Tot Opleiding Voor Indische Artsen (STOVIA), cikal bakal sekolah kedokteran di masa itu. Dia kemudian melanjutkan pendidikannya pada spesialisasi Telinga Hidung Tenggorokan (THT). Selain aktif di dunia kesehatan, penerima penghargaan Bintang Mahaputra Klas III ini juga pintar di dunia bela diri, pencak silat. Moewardi menikah dengan istri pertamanya, Suprapti ketika masih kuliah di STOVIA tahun 1932 dan dikaruniani 2 orang anak. Setelah tiga tahun pernikahan, istrinya meninggal dunia karena sakit. Tahun 1439, Moewardi menikah dengan Susilowati dan dikaruniani 5 orang anak.
Dalam organisasi, Moewardi pernah menjadi Pemimpin Umum Kepanduan Jong Java Padvinderij. Pada saat proklamasi kemerdekaan, dia memiliki peran penting di dalamnya. Tanggal 16 Agustus 1945, sebagai ketua-nya, Moewardi memerintahkan Barisan Pelopor untuk menjaga Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Monumen Nasional) yang rencananya akan digunakan sebagai tempat pembacaan teks proklamasi. Usai proklamasi, Barisan Pelopor Istimewa juga dibentuk untuk menjaga rumah Presiden dan Wakil Presiden sebagai proklamator (Soekarno-Hatta). Dalam perjalanan sejarah, Moewardi mengganti nama Barisan Pelopor menjadi Barisan Benteng, ketika pusat barisan itu pindah ke kota Solo tahun 1964. Sebelum pindah, dia bersama anggotanya juga ikut dalam pertempuran melawan penjajahan Inggris. Moewardi tetap menjalankan tugasnya sebagai dokter walaupun aktif di berbagai organisasi. Bersama dokter-dokter lain, dia mendirikan sekolah kedokteran di Jebres, Solo, yang kemudian dipindahkannya ke Klaten. Moewardi juga mendirikan Gerakan Rakyat Revolusioner (1948) untuk melawan aksi anti pemerintah dan dalam rangka menghadapi pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketika PKI melakukan aksinya di Madiun dan Solo tahun 1948, PKI melakukan serangkaian penculikan dan pembunuhan terhadap beberapa tokoh. Moewardi dikabarkan turut menjadi korban kebiadaban PKI tersebut, dia diculik dan diduga dibunuh oleh para pemberontak pada saat akan pergi menjalankan praktik sebagai dokter di Rumah Sakit Jebres, selain Soeryo, Gubernur Jawa Timur di masa itu. Pemerintah Republik Indonesia memberikan penghargaan sebagai Pahlawan Nasional tahun 1964. Kini namanya diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Umum Daerah di Surakarta sejak tanggal 10 November 1988.
Wabah dan epidemi pes dengan julukan mengerikan “Maut Hitam” melanda Malang tahun 1910. Meski pageblug Maut Hitam sudah merajalela, para dokter Eropa di Batavia enggan pergi ke Malang untuk mengobati pasien pes yang mayoritas pribumi. Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo yang lulusan STOVIA dan saat itu sedang bekerja di jawatan kolonial mengajukan diri sebagai relawan dokter untuk pergi ke Malang. Tjipto maju tak gentar menjelajah pelosok desa guna membasmi pes dan sepenuhnya menyerahkan dirinya hanya kepada nasib. Ketika berada di sebuah desa, Tjipto mendengar tangisan bayi dari sebuah gubuk kumuh. Ternyata ada seorang bayi perempuan yang telah yatim piatu akibat wabah pes yang telah membunuh kedua orang tuanya. Dipungutlah bayi perempuan itu menjadi anak-nya dan diberi nama “Pesjati”. Anak itu dibesarkan dan dididik oleh keluarga Tjipto hingga berhasil menyelesaikan pembelajaran di Sekolah Kepandaian Putri. Koran Perniagaan edisi 15 Juli 1912 memberitakan bahwa ada seorang dokter Jawa yang bernama Tjipto Mangoenkoesoemo telah dianugerahi bintang penghargaan Ridder in de Orde van Oranje Nassau atas jasa-jasanya dalam menaklukkan wabah pes.
Tjipto Mangoenkoesoemo adalah tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia yang lahir di Pecangaan, Jepara, Jawa Tengah tahun 1886 - wafat di Jakarta, 8 Maret 1943. Tjipto menikah dengan seorang pengusaha batik bernama Marie Vogel tahun 1920. Selain mendalami ilmu kedokteran, Cipto Mangunkusumo juga kritis memperjuangkan bangsa Indonesia agar terbebas dari kungkungan penjajah. Cipto Mangunkusumo bergabung dengan organisasi pemuda Budi Utomo di tahun 1908. Budi Utomo adalah salah satu titik awal perjuangannya dalam melawan penjajah. Melalui Budi Utomo, dia bertemu sosok-sosok pemuda yang ingin memperbaiki nasib bangsa Indonesia melalui jalur pendidikan. Karena adanya perbedaan pendapat dan pemikiran tentang tujuan organisasi, Cipto memilih mundur dari organisasi, dan bersama Ernest Douwes Dekker dan sahabatnya Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) yang kemudian dikenal sebagai "Tiga Serangkai" membentuk Indische Partij yang bertujuan untuk memperjuangkan kesetaraan ras dan melawan kolonialisme. Cipto juga merupakan tokoh sentral dalam Indische Partij, suatu organisasi politik yang sangat kritis terhadap pemerintahan penjajahan Hindia Belanda dan pertama kali mencetuskan ide pemerintahan sendiri di tangan penduduk setempat.
Berbeda dengan kedua rekannya dalam "Tiga Serangkai" yang mengambil jalur pendidikan, Cipto tetap berjalan di jalur politik dengan menjadi anggota Volksraad. Karena tulisan, aktivitas politik dan sikapnya yang dianggap radikal di mata penjajah, Cipto pernah dibuang dan diasingkan oleh pemerintah penjajahan. Tahun 2016, Pemerintah Republik Indonesia mengabadikan dokter Tjipto Mangoenkoesoemo sebagai desain di pecahan uang logam rupiah baru. Kini namanya juga diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Umum Pusat Nasional di Jakarta dengan pelayanan terlengkap di Indonesia, sejak tanggal 13 Juni 1994.
Kisah perjuangan dokter Tjipto Mangoenkoesoemo menaklukkan Maut Hitam, dan dokter Moewardi dalam membantu dan memberikan pertolongan pada kaum “Gembel”, serta pengabdian dokter-dokter lainnya senafas dengan kisah para dokter, perawat dan tenaga kesehatan Indonesia yang hingga kini masih berada di gugus terdepan perjuangan menaklukkan pageblug Corona. Mereka semua adalah Pahlawan Kesehatan sejati yang juga sepenuhnya menyerahkan dirinya kepada nasib yang telah ditentukan oleh Tuhan.
Dikutip dari berbagai sumber