Maestro Arsitek dari Belanda Dr. Hendrik Petrus Berlage dalam kunjungannya ke Kota Bandung pada 1923, menyatakan bahwa “Gedung Sate beserta rancangan kompleks Pusat Perkantoran Instansi Pemerintahan Sipil Hindia Belanda di Bandung itu merupakan sebuah karya besar. Gedung Sate pada hakekatnya hanya sebagian kecil atau sekitar 5% dari bangunan yang menempati lahan Bandung Utara seluas 27.000 meter persegi, yang disediakan oleh Gemeente Van Bandoeng lewat Raadbesluit yang disahkan pada tanggal 18 Desember 1929.”
Pembangunan Gedung Sate diawali dengan peletakan batu pertamanya pada 27 Juli 1920 oleh putri sulung Wali Kota Bandung saat itu, Johanna Catherina Coops, dan didampingi perwakilan Gubernur Hindia-Belanda di Batavia, Petronella Roelofsen. Pembangunan gedung yang dulunya bernama Departement van Gouvernements Bedrijven disingkat "GB" atau Kantor Pusat Departemen Instansi Pemerintahan tersebut rampung pada September 1924. Gedung Sate di masa lalu memiliki beberapa fungsi sebagai Hoofdbureau Post Telegraaf en Telefoondienst, Kantor Departement Verkeer en Waterstaat dan Centerale Bibliotheek, atau Perpustakaan Tehnik Pusat yang menggabungkan koleksi buku dari tujuh jawatan dan terlengkap di Asia Tenggara, serta laboratorium geologi yang terletak di Wilhelmina Boulevard.
Pembangunan Gedung Sate melibatkan sekitar 2.000 pekerja dan menghabiskan dana sebesar 6 juta gulden. Itulah sebabnya terdapat enam “sate” yang berada di puncak gedung yang saat ini menjadi landmark Kota Kembang dan Propinsi Jawa Barat tersebut. Karena memerlukan 6 juta gulden untuk biaya pembangunannya, sehingga satu juta gulden disimbolkan dengan meletakkan satu “sate” pada puncak bangunan gedung. Fungsi Gedung Sate sekarang adalah sebagai Kantor Gubernur Propinsi Jawa Barat. Sayap timur ditempati oleh Kantor Pusat PT Pos Indonesia (Persero), sedangkan bangunan tambahan pada sayap barat, adalah Gedung DPRD Propinsi Jawa Barat dan masjid. Museum Geologi yang terletak di seberang jalan tidak jauh dari gedung utama, juga masih terlihat berdiri kokoh dan tetap indah,.
Bangunan Gedung Sate dirancang oleh arsitek Belanda Ir. J. Gerber dari Jawatan Gedung-Gedung Negara (Landsgebouwendients), dengan dibantu oleh tim yang terdiri dari: Kol. Genie, V.L. Slor dari Genie Militair, Ir. E.H. De Roo dan Ir. G. Hendriks yang mewakili Burgerlijke Openbare Werken (BOW) atau Dinas Pekerjaan Umum dan Gemeentelijk Bouwbedriff (Perusahaan Bangunan Kotapraja) Bandung. Bangunan utama terbuat dari baja asli Swedia dan hampir seluruh batu yang digunakan pada bangunan adalah batu kali dan batu gelas. Batu kalinya diambil dari kawasan Bandung Timur karena teksturnya yang lebih kuat. Meski hampir seluruh gedung dibangun menggunakan bebatuan, namun bagian taman terbuat dari batu bata. Hingga saat ini, belum pernah dilakukan pemugaran untuk bangunan utama gedung kecuali hanya sekedar renovasi kecil atau pengecatan ulang.
Pada 1930, Gouvernements Bedrijven diresmikan sebagai Kantor Jawatan Pekerjaan Umum dan Pengairan. Selama pendudukan Jepang, Gedung Sate menjadi Pusat Pemerintahan (Shucho) Wilayah Jawa Barat dan kedudukan Komandan Militer Daerah. Saat Indonesia merdeka, gedung tersebut kembali digunakan oleh Departemen Pekerjaan Umum. Mulai tahun 1980, gedung dimanfaatkan sebagai Kantor Pemerintahan Propinsi Jawa Barat hingga saat ini. Gedung Sate juga sempat menjadi salah satu simbol perjuangan rakyat. Di balik kemegahannya, gedung ini menyimpan sebuah kisah perjuangan Angkatan Moeda Pekerdjaan Oemoem, yang mempertahankan Gedung Sate dan Kemerdekaan Indonesia dari serangan tentara Gurkha dan NICA (1945). Tujuh orang pemuda pejuang yang mempertahankan bangunan tersebut gugur dan namanya terpahat abadi pada sebuah monumen peringatan yang berdiri tegak di depan Gedung sate.
Langgam arsitektur Gedung Sate terinspirasi gaya Italia di zaman renaissance. Sebagaimana bangunan resmi yang didirikan oleh BOW, selain kesan anggun, indah, megah, dan monumental, penantaan bangunan pada umumnya berbentuk simetris. Selain itu, pemakaian elemen lengkungan yang ritmis, berulang-ulang (repetisi) mampu menciptakan "irama arsitektur" yang menyenangkan, indah dan unik. Pada dinding fasade depan terdapat ornamen berciri tradisional, seperti bangunan candi-candi Hindu. Sedangkan ditengah-tengah bangunan induk, tegak berdiri menara dengan atap bersusun atau disebut "tumpang" seperti Meru di Bali atau atap Pagoda. Di bagian atasnya yang menjulang menyerupai tusukan sate, sehingga masyarakat secara popular memberikan nama gedung itu "Gedung Sate". Selain megah, bangunan menjadi unik, karena memadukan gaya arsitektur barat dan timur dan hasil eksperimen dari pencarian sebuah bentuk identitas arsitektur tradisional Indonesia dengan kemahiran konstruksi barat. Hal ini dapat dilihat pada Gedung Sate atau bangunan induk Kampus ITB, yang sering disebut sebagai Indo Europeeschen Architectuur Stijl atau Gaya Arsitektur Indonesia Eropa.
Pembangunan Gedung Sate erat kaitannya dengan rencana Pemerintah Kolonial Belanda di zaman Gubernur Jenderal J.P. Van Limburg Stirum (1916-1921) untuk melaksanakan usul H.F. Tillema (1916), seorang ahli kesehatan lingkungan dari Semarang, agar Ibukota Hindia Belanda dipindahkan dari Batavia ke Bandung. Pada akhirnya, sejumlah instansi atau departemen pemerintahan, dipindahkan dari Batavia, yang akan mendirikan gedung perkantorannya di sekitar Gedung Sate. Akibat terjadinya resesi ekonomi tahun 1930-an, akhirnya rencana pemindahan ibukota negara beserta bangunan-bangunannya tersebut tidak dilanjutkan, walaupun beberapa bangunan sempat juga dirampungkan.
Kini, di usia 100 tahun setelah kompleks yang dulunya menjadi pusat perkantoran insatansi pemerintah sipil di masa Hindia Belanda tersebut dibangun, Gedung Sate masih tetap terawat dan terpelihara dengan baik, terus dipercantik untuk menambahkan keindahan dan mengoptimalkan fungsinya dalam menghadirkan kenyamanan serta meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat. Antara lain dengan pemasangan pilar-pilar yang menggambarkan bahwa Gedung Sate adalah milik warga Jawa Barat, pada khususnya. Pemasangan pilar tersebut mengandung nilai filosofis dan diharapkan dapat mendorong serta menggerakkan ekonomi masyarakat Jawa Barat yang sempat terpukul oleh pandemi COVID-19 saat ini. Satu pilar, merupakan penggambaran untuk satu kabupaten dan masing-masing pilar memiliki sejarahnya. Jadi Gedung Sate dan Gasibu tidak hanya dimiliki oleh masyarakat Bandung Raya saja, tetapi juga oleh masyarakat lainnya. Kang Emil sebutan untuk Ridwan Kamil (yang karya lukisannya juga menjadi inspirasi untuk desai souvenir sheet prangko seri 100 Tahun Gedung Sate ini), juga mengatakan bahwa saat ini Gedung Sate terbuka untuk umum dan menjadi salah satu destinasi wisata utama. Masyarakat dapat menyusuri jejak-jejak historis Jawa Barat dengan menelusuri keindahan kompleks Gedung Sate dan mampir di Museum Gedung Sate di lantai dasar, yang didalamnya terdapat instalasi interaktif berupa visual pembangunan dan miniatur Gedung Sate serta visual Kota Bandung yang terlihat dari langit.
Dikutip dari berbagai sumber