Bagi orang barat, India sering disamakan dengan Indonesia. Anggapan tersebut mengakibatkan kesenian Indonesia kurang diperhitungkan bangsa lain. Namun sesungguhnya, khazanah dan nilai seni di Indonesia sangatlah kaya dan bermutu tinggi serta dapat disejajarkan dengan seni klasik di negeri maju. Musik merupakan salah satu cabang seni yang turut berkembang bersama cabang seni yang lain. Seni musik di Indonesia telah muncul dan berkembang sejak lama, di zaman jauh sebelum masuknya agama Hindu-Buddha. Seni musik telah melampaui batas bahasa dan kebudayaan. Musik Indonesia atau musik Nusantara adalah semua musik yang berkembang di Nusantara yang mencerminkan identitas Indonesia, baik dari segi bahasa maupun karakter melodinya.
Di era modern yang diawali dengan masuknya media elektronik ke Indonesia, terjadilah arus globalisasi yang tak dapat dibendung. Berbagai budaya barat mulai masuk ke dalam negeri termasuk berbagai aliran musik seperti: pop, jazz, blues, rock, R&B, hingga musik-musik India. Di era konteporer tersebut, muncul berbagai jenis musik baru yang memadukan unsur-unsur musik asing dengan musik Nusantara. Seperti dangdut yang merupakan perpaduan antara musik India dengan Melayu. Selain itu, berkembang pula jenis musik yang mengkombinasikan unsur-unsur kedaerahan Indonesia dengan musik Barat, terutama pada alat-alat musiknya. Perpaduan musik ini kemudian menghasilkan jenis musik yang dikenal sebagai musik etnis.
Identitas musik Indonesia mulai terbentuk sekitar abad ke-3 atau ke-2 sebelum masehi, ketika budaya zaman perunggu mulai bermigrasi ke Nusantara. Musik-musik suku tradisional Nusantara umumnya menggunakan alat musik perkusi semacam gendang dan gong. Beberapa alat musik juga berkembang menjadi alat musik yang rumit dan berbeda-beda, seperti Sasando dari Pulau Rote, Angklung dari Jawa Barat, dan Gamelan dari Jawa dan Bali, serta lainnya. Sudah sedemikian banyaknya penyanyi dan pemusik yang memberikan kontribusi luar biasa dengan karya-karyanya yang melegenda di Indonesia, bahkan sampai ke penjuru dunia. Namun karena pertimbangan teknis dan tanpa mengurangi wujud apresiasi dan kebanggaan kita kepada para legenda musik Indonesia lainnya, saat ini kami baru bisa menyajikan beberapa pemusik legenda Indonesia, antara lain:
Titiek Puspa, Nama Titiek Puspa diambil dari Titiek yang merupakan nama panggilannya sehari-hari dan Puspa dari “Puspo” yang berarti bunga, diambil dari nama bapaknya. Nama ini pula yang diambil untuk nama orkes "Puspa Sari" yang dipimpinnya dan selalu mengiringinya menyanyi di awal kariernya di Semarang. Titiek Puspa juga disebut sebagai diva legendaris oleh Majalah Wanita Kartini. Tidak hanya bernyanyi, Eyang Titiek juga menggeluti seni musik, peran, bintang iklan, koreografer dan teater serta menggarap beberapa operet. Titiek Puspa lahir dengan nama Sudarwati, alias Kadarwati atau Sumarti pada 1 November 1937 di Tanjung Tabalong, Kalimantan Selatan, dari ayah Toegeno Poespowidjojo dan ibu Siti Mariam. Titiek Puspa dikaruniai anak-anak: Ella Puspasari Kamarullah dan Petty Tunjungsari Murdago, serta 14 orang cucu. Penghargaan yang pernah diterima Titiek Puspa, antara lain: Juara Bintang Radio Jawa Tengah (1954); BASF Award, kategori Pengabdian Panjang di Dunia Musik (1994); Selebrita Awards 2016: Lifetime Achievement Award (2016 dan 2018); Indosat Awards 2016; Nominasi Pemeran Pendukung Wanita Terbaik, FFI 2016, lewat film Kisah Tiga Dara; Indonesian Choice Awards 2018; Anugerah Komisi Penyiaran Indonesia dan Pengabdian Seumur Hidup (2018). Perempuan ber-zodiak Scorpion dan sebelas bersaudara ini pernah mengikuti festival musik tanpa sepengetahuan orang tuanya. Nama Titiek Puspa adalah salah satu upayanya untuk menyembunyikan identitasnya waktu itu. Kemenangannya sebagai juara kedua Bintang Radio RRI di Semarang itulah, kemudian yang memperkenalkan dirinya dengan Sjaiful Bachri, pimpinan Orkes Simphony Djakarta. Hingga Titiek Puspa menjadi penyanyi tetap di grup tersebut. Perempuan serba bisa itu, mengawali rekaman tahun 1955 dan menghasilkan puluhan album dengan lagu-lagunya yang pernah hit, antara lain “Pantang Mundur”, dan “Apanya Dong”. Selain itu, istri Mus Mualim ini, pernah membintangi banyak film dan sinetron, di antaranya: Minah Gadis Dusun, dan Inem Pelayan Sexy. Sementara di teater, nenek yang selalu kelihatan cantik ini telah menyuguhkan Operet Papiko dan Operet Kupu Kupu. Lama tidak mengeluarkan album, dalam rangka Pemilihan Umum 2009, Titiek bersama musisi lain menyanyikan lagu bertemakan Pemilu. Melalui lagu ini, Titiek mengajak masyarakat untuk bersama-sama menyukseskan Pemilu. Umur yang terus bertambah bukan berarti tidak lagi eksis, namun semakin bertambah kreatif. Hal ini dibuktikan dengan pementasan “Malin Kundang” yang digagasnya sebagai bentuk kepeduliannya terhadap budaya bangsa. Dalam rangkaian perayaan ulang tahunnya yang ke 70, Titiek Puspa meluncurkan buku biografi berjudul "Titiek Puspa, A Legendary Diva". Jelang akhir tahun 2009, Titiek harus menerima kenyataan jika dirinya mengidap penyakit. Vonis tak lantas membuatnya menyerah, ia tetap semangat menjalani perawatan, bahkan masih dan terus berkarya, menulis lagu dan beraktivitas produktif hingga kini.
Gombloh, Soedjarwoto Soemarsono atau Gombloh lahir sebagai anak ke-4 dari enam bersaudara dalam keluarga Slamet dan Tatoekah, di Jombang, Jawa Timur, tanggal 14 Juli 1948. Slamet adalah pedagang ayam potong di pasar tradisional. Selepas SMA, Gombloh sempat kuliah di ITS, namun tidak diselesaikannya dan memilih menuruti nalurinya untuk bermusik. Jiwanya yang bebas tidak dapat dikekang oleh disiplin yang ketat di bangku kuliah. Gombloh bereaksi dengan menghilang dan berpetualang sebagai seniman ke Bali. Walau tidak sempat memiliki gelar akademik, Gombloh dipandang sebagai sosok yang memberi jiwa kemanusiaan dan kebangsaan oleh para alumnus ITS. Gombloh adalah pencipta lagu balada sejati. Ia bergabung dengan grup art rock/ orchestral rock bernama Lemon Tree's Anno '69. Kehidupan sehari-hari rakyat kecil banyak digambarkan dalam lagu-lagunya. Lirik-liriknya puitis dan misterius. Gombloh juga menulis lagu tentang (kerusakan) alam, salah satunya adalah “Berita Cuaca” atau lebih populer dengan nama “Lestari Alamku”. Lagu-lagu cintanya cenderung "nyeleneh", misalnya “Lepen” atau “Sungai Kecil" dalam bahasa Jawa, tetapi di judul lagu ini merupakan singkatan dari "Lelucon Pendek". Gombloh juga memiliki tema khas-nasionalisme dalam lagu-lagunya, salah satunya adalah “BK” atau lagu yang bertutur tentang Bung Karno, sang proklamator. Lagunya “Kebyar-Kebyar” yang legendaris banyak dinyanyikan pada masa perjuangan menuntut reformasi dan masih sering diperdengarkan hingga kini, khususnya di saat-saat perayaan hari kemerdekaan Indonesia. Bersama Lemon Tree's, ia merilis album dengan lagu-lagunya berbahasa Jawa seperti "Sekar Mayang". Salah satu lagunya, Hong Wilaheng, yang versi reprise dari “Sekar Mayang” dan masuk dalam “Album Berita Cuaca", menggunakan lirik yang diambil dari Serat Wedhatama. Lagu-lagu karya Gombloh sempat diangkat sebagai bahan penelitian oleh Martin Hatch, seorang peneliti dari Universitas Cornell dan dituangkan dalam bentuk karya ilmiah yang berjudul "Social Criticsm in the Songs of 1980’s Indonesian Pop Country Singers", yang dibawakan dalam seminar musik The Society of Ethnomusicology di Toronto, Kanada tahun 2000. Semenjak “Album Gila”, Gombloh dinilai para kritisi mengendurkan idealismenya, dengan lebih mengedepankan album bergaya pop ringan dengan lirik-lirik sederhana dan jenaka. Namun, ia menjadi lebih populer dan mendapatkan penghasilan yang lebih besar. Gombloh tidak menjadi kaya dengan itu, karena lebih suka menghabiskan pendapatannya dengan makan-makan bersama kawan-kawannya dan rakyat kecil di sekitar rumahnya. Ia dikenal sebagai seorang yang sangat dermawan. Namun, rasa kesetiakawanannya dan jiwa merdeka inilah yang secara tidak langsung berpengaruh dan membawanya pada penyakit yang kelak merenggut nyawanya. Gombloh meninggal dunia di Surabaya pada 9 Januari 1988, karena sakit. Kebiasaan merokoknya sulit dihilangkan dan ia sering begadang demi lagu-lagunya. Pada tahun 1996 sejumlah seniman Surabaya membentuk Solidaritas Seniman Surabaya untuk menciptakan suatu kenangan untuk Gombloh, sang legendaris dan pahlawan seniman di kota itu. Mereka sepakat membuat patung Gombloh seberat 200 kg dari perunggu, yang ditempatkan di halaman Taman Hiburan Rakyat Surabaya. Pada tahun 2005, Gombloh mendapatkan penghargaan Nugraha Bhakti Musik Indonesia secara anumerta dari PAPPRI, bersama sembilan tokoh musik lainnya.
Chrisye, Bicara sosok legendaris musik, tidak lengkap tanpa menyebut nama Chrisye. Pria virgo ini sejak kecil sangat suka musik. Saat SD, musik-musik Frank Sinatra, Bing Crosby, dan Nat King Cole yang diputar ayahnya dari piringan hitam semakin menebalkan kecintaannya pada musik. Chrisye bertetangga dengan Keenan Nasution yang saat itu membentuk Band Sabda Nada. Perkenalannya dengan Nasution Bersaudara membuka peluang Chrisye untuk menapaki dunia musik dengan lebih baik. Meski ditentang ayahnya, Laurens Rahadi, yang tidak setuju jika Chrisye menjadikan musik sebagai profesi utamanya, pada akhirnya Chrisye mendapat persetujuan untuk menekuni musik dan mengorbankan pendidikan formalnya dari Akademi Perhotelan Trisakti dan Teknik Arsitektur UKI. Bersama Sabda Nada yang berganti nama menjadi Gibsy Band, Chrisye pergi ke New York tahun 1973 dengan keraguan, hingga sang Ayah mengijinkannya. "Inilah titik yang luar biasa penting dalam sejarah karier saya,'' kata Chrisye. Saat di New York, Chrisye sempat bergabung dengan Abadi Soesman, Dimas Wahab, Rony Makasutji, dan Broery Marantika dalam Band The Pro's. Berkolaborasi dengan Guruh Soekarnoputra, menjadikan karir Chrisye sebagai penyanyi solo mulai dikenal publik. Sukses tersebut, membuat Chrisye direkrut Musica Studios, dan merilis album solo perdananya di tahun 1978. Dengan dorongan Guruh pula, Chrisye menyanyikan “Lilin-Lilin Kecil” karya James F Sundah di Lomba Cipta Lagu Remaja (1976) yang sukses melambungkan namanya. Usai “Lilin-lilin Kecil”, Chrisye mulai aktif menghasilkan banyak album, antara lain: Badai Pasti Berlalu, Sabda Alam, dan Aku Cinta Dia, dan semuanya sukses diterima pasar. Selama kariernya yang lebih dari 25 tahun dia menghasilkan sekitar 18 album solo, serta sempat juga bermain film. Chrismansyah Rahadi atau Christian Rahadi atau Chrisye, lahir di Jakarta, 16 September 1949. Sepanjang perjalanan kariernya, pada tahun 2005 cobaan menghampiri Chrisye. Vonis kanker mengharuskannya menjalani perawatan di Singapura. Meski harus berjuang melawan penyakitnya, dan absen selama hampir setahun, Mei 2006, Chrisye kembali memulai debut panggungnya dengan tampil di acara 1 Jam Bersama Ungu. Di tengah-tengah proses penyembuhan, teman lamanya, Alex Kumara, menggagas untuk menerbitkan memoar sebagai salah satu cara meringankan beban. Kisah lebih 30 tahun perjalanan karier musiknya tertuang dalam buku “Chrisye, Sebuah Memoar Musikal” (2007), yang disusun oleh Alberthiene Endah. Chrisye meninggal di Jakarta tanggal 30 Maret 2007. Dia meninggalkan seorang istri, Gusti Firoza Damayanti Noor (sudah wafat) dan empat anak: Rizkia Nurannisa, Risti Nurraisa, dan putra kembar: Rainda Prashatya & Randa Pramasya. Chrisye lebih banyak meluangkan waktunya untuk mendalami agama. “Buat saya, spritualitas memberikan lebih dari sekadar memiliki agama karena spritualitas memberikan rasa aman, tenteram, dan jalan. Saya merasakan hidup dan karier saya bergulir pada tujuan yang jelas berkat pendalaman spritualitas yang saya jalani” katanya. “Sebetulnya ada hal yang sudah mengusik saya, jauh sebelum bertemu Yanti. Yakni, krisis keimanan saya. Di tengah kesibukan saya bermusik, sebetulnya saya merasakan kesepian yang misterius. Saya seperti merindukan sesuatu yang tidak bisa saya gambarkan bentuknya. Diam-diam saya menekuni agama Islam, hingga suatu saat saya menjadi sangat yakin. Saya ingin memeluk Islam.'' (1990). Dikenal dengan vokalnya yang halus dan gaya panggung yang kaku, Chrisye dianggap salah satu penyanyi Indonesia legendaris. Lima album karyanya dimuat dalam Daftar 150 Album Indonesia Terbaik oleh majalah musik Rolling Stone Indonesia. Lima lagunya dimuat dalam Ddaftar Lagu Terbaik oleh majalah yang sama pada tahun 2009. Beberapa albumnya disertifikasi perak atau lebih tinggi. Dia menerima dua kali Lifetime Achievement Award di tahun 1993 dan 2007. Tahun 2011, Rolling Stone Indonesia mencatat Chrisye sebagai musisi Indonesia terbaik ketiga sepanjang masa. Chrisye juga sempat menyabet berbagai penghargaan bergengsi dari dalam dan luar negeri, seperti BASF Awards, Golden Record, atau HDX Awards. Ia juga memenangi MTV Video Music Award Asia Viewer's Choice Award 1998 yang berlangsung di Los Angeles, Amerika Serikat.
Gesang, Gesang Martohartono atau Gesang, lahir di Surakarta, 1 Oktober 1917. Dia adalah penyanyi dan pencipta lagu jawa yang dikenal sebagai Maestro Keroncong Indonesia. Musisi otodidak yang mencari nafkah dengan menulis lagu dan menyanyi dari rumah ke rumah ini, tinggal di Solo bersama keponakan dan keluarganya, meninggalkan rumah pemberian Gubernur Jawa Tengah (1980). Dia berpisah dengan istri tahun 1962 tanpa dikaruniai seorang anak. Gesang meninggal dunia tanggal 20 Mei 2010 karena sakit, setelah ditangani tim yang terdiri dari lima dokter spesialis berbeda yang secara khusus menangani kesehatannya di rumah sakit. Pada awalnya, Gesang bukanlah pencipta lagu. Dia hanyalah penyanyi lagu keroncong untuk acara pesta kecil-kecilan di kota Solo. Ia pernah menciptakan beberapa lagu, seperti: Keroncong Roda Dunia, Keroncong Si Piatu, dan Sapu Tangan. Sayangnya, ketiga lagu ini kurang mendapat sambutan dari masyarakat. Gesang mulai terkenal lewat lagu ciptaannya, “Bengawan Solo” yang melegenda dan mengantarkannya berkeliling Asia. Lagu ini diciptakan menggunakan seruling dalam waktu 6 bulan (1940). Lagu ini tercipta karena kekagumannya akan keberadaan sungai (bengawan) tersebut. Komitmenya yang tinggi terhadap dunia seni membuat dia diganjar penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma dari pemerintah Indonesia di tahun 2002. Lagu Gesang yang lain di antaranya: Jembatan Merah, Sebelum Aku Mati dan Aja Lamis, telah di aransemen ke berbagai jenis irama. Gesang yang pernah diundang pada Festival Salju Sapporo atas undangan Himpunan Persahabatan Sapporo Dengan Indonesia (1980), juga telah merekam lagu-lagunya dalam bentuk compact disk, masing-masing adalah Seto Ohashi, Tembok Besar, Borobudur, Urung, Pandanwangi dan Swasana Desa. Salah satu lagu, Bengawan Solo ciptaannya menjadi sangat terkenal dari Asia hingga Pasifik. Bahkan lagu ini telah diterjemahkan ke dalam 13 bahasa. Tak hanya itu, “Bengawan Solo” juga pernah muncul dalam film In The Mood For Love karya Wong Kar-Wai pada tahun 2000. Lagu Bengawan Solo memang sangat terkenal di negara Jepang. Hingga tahun 1983, Jepang mendirikan sebuah Taman Gesang di tepian Bengawan Solo, yang di-danai oleh Dana Gesang, sebuah lembaga yang didirikan untuk Gesang di Jepang sebagai bentuk penghargaan atas jasanya terhadap perkembangan musik keroncong. Kekaguman masyarakat Jepang terhadap Gesang sangat luar biasa, bahkan dia pernah mendapat penghargaan Anugerah Bintang Kehormatan dari Kaisar Jepang, Akihito pada tahun 1992. Gesang merupakan pahlawan keroncong Indonesia. Pesona lagu Bengawan Solo ternyata juga pernah menjadi lagu perjuangan rakyat Polandia di tahun 1965. Lagu Bengawan Solo versi Polandia itu ditulis tahun 1964. “Lirik lagunya menggambarkan impian rakyat Polandia akan tanah yang indah dan kemerdekaan yang tidak kami miliki, kala itu,” kata Duta Besar Polandia untuk Indonesia (2013) dalam acara peluncuran Program Kekhususan Eropa Tengah, Pusat Kajian Eropa UI di Wisma Antara. Berkat lagu tersebut, Indonesia dan Polandia mempunyai hubungan yang sangat dekat. Lirik lagunya ditulis oleh Marek Sewen dan Roman Sadowski dan dinyanyikan oleh Violetta Villas, diva musik Eropa Tengah saat itu. Menurut lirik lagu versi Polandia tersebut, tanah air diciptakan oleh Tuhan buat mereka yang bekerja keras dan berani untuk memperjuangkan nasib kemerdekaannya sendiri. Sebelum dimakamkan, Gesang disemayamkan di Balai Kota Solo, dan dilanjutkan dengan prosesi pemakaman secara militer di Sukoharjo. Presiden Republik Indonesia dalam prosesi pemakamannya diwakili oleh Menteri Koordinator Kesejahtraan Rakyat saat itu. Diantara masyarakat solo dan tokoh-tokoh musik Indonesia, tampak Duta Besar Jepang untuk Indonesia, Kajiro Shiojiri juga hadir melayat dan menyampaikan duka cita kepada Sang Maestro Keroncong Indonesia tersebut.
Panbers, Panbers adalah nama kelompok musik singkatan dari Pandjaitan Bersaudara. Didirikan tahun 1965 di Surabaya, yang terdiri dari empat personil putra dari Drs. J.M.M. Pandjaitan, S.H, dengan Bosani S.O. Sitompul. Keempat bersaudara ini adalah: Portahan Bonetua Marangin Sotarduga Pandjaitan (Hans Pandjaitan), pada lead guitar, Porbenget Mimbar Mual Hamonangan Pandjaitan (Benny Panjaitan), sebagai vokalis dan rhythm guitar, Porbulus Domo Pangidoan Pandjaitan (Doan Pandjaitan), pada bass dan keyboard, dan Asido Rohana Pandjaitan (Asido Pandjaitan), pada drum. Mereka juga memiliki saudara perempuan Natasya Pandjaitan, yang wafat tahun 1973. Formasi Panbers berubah di tahun 1990-an dengan kehadiran Maxi Pandelaki sebagai basssist, dan Hans Noya, lelaki berdarah Ambon sebagai lead guitar, serta violis berdarah Melayu Kalimantan, Hendri Lamiri. Bergabungnya Maxi, lelaki berdarah Minahasa dan lainnya ini telah memulai era baru Panbers yang tak lagi murni berasal dari keluarga Pandjaitan. Masa kecil mereka dilalui berpindah-pindah mengikuti tugas sang Ayah yang seorang bankir. Palembang adalah kota tempat mereka dibesarkan dan awal bermusik Panbers dimulai. Musik bukan hal aneh lagi di keluarga Pandjaitan dan mereka sudah memiliki alat musik sendiri. Ibunya mahir bermain piano dan sang Ayah senang bermain biola. Mereka juga terinspirasi pada Koes Bersaudara yang sedang populer di masa itu. Sang Ayah sangat mendukung keinginan anak-anaknya bermusik, dengan syarat tidak boleh meninggalkan prestasinya di sekolah. Dari Palembang inilah lahir Band Bocah yang dimotori Benny Pandjaitan bernama “Tumba Band”. Nama ini diambil dari Bahasa Batak yang artinya irama menari, yang kelak menjadi cikal bakal group musik legendaris Indonesia. Mengikuti penugasan ayahnya di Surabaya (1961), kegiatan bermusik yang dirintis sejak di Palembang diteruskan. “Panbers remaja” serius menekuni jalur musik sambil tetap konsentrasi menyelesaikan studi sesuai pesan sang Ayah. Sebutan Panbers dibuat spontan saja, meski nama itu diputuskan lewat diskusi yang seru. Pada awalnya mereka ragu menggunakan nama tersebut yang seperti kebarat-baratan. Pada akhirnya, mereka mengadopsi dari grup band lain yang menggunakan huruf tambahan 'S' di belakang namanya, hingga lahirlah “Panbers” yang berarti kakak-beradik keluarga Pandjaitan. Mereka bermain di berbagai panggung hiburan dan acara-acara pesta dengan bayaran seadanya dan tanpa berpikir popularitas. Baru di awal tahun 1970-an, Benny mulai berpikir untuk menciptakan lagu hingga terciptalah “Awal dan Cinta”. Di masa itu, segala cerca dan olok-olok sebagai 'band kampungan' ditujukan kepada mereka, karena kecenderungan band lokal membawakan lagu-lagu mancanegara. Panbers tetap konsisten pada kecintaannya dengan lagu-lagu Indonesia dan makian itu tidak lagi digubrisnya. Jelang 1971, Panbers pindah ke Jakarta, yang membuat mereka berpikir untuk meraih sukses melebihi yang sudah mereka dapatkan. Pesan sang Ayah masih tetap bahwa mereka harus tetap kuliah, sehingga bermain musik hanyalah sekadar hobi. Dengan tekad yang bulat serta perjuangan yang gigih, Panbers mencoba menciptakan lagu dan membawakannya di acara-acara pesta. Satu nomor yang selalu mereka bawakan adalah “Akhir Cinta”. Lewat lagu itulah nama Panbers mulai dikenal. Perjalanan karier Panbers diawali dengan kemunculan pertama mereka bersama band top lain di Jakarta, di acara Jambore Bands 1970. Panbers sudah membawakan lagunya sendiri dan sejak saat itu, mereka mulai kerap muncul di televisi, dan popularitas mereka pun mulai diperhitungkan. Performance mereka di televisi dengan seperangkat alat musik yang baru dibelinya dari Dara Puspita, menarik perhatian Dimita Molding Industries. Dick Tamimi lalu merekrut mereka masuk ke dunia rekaman dan munculah hit mereka yang abadi, “Akhir Cinta”. Satu tahapan sukses bersejarah mereka raih di tahun 1971. Dengan Remaco (1974), Panbers merekam lagu-lagu Natal. Tahun 1977, mereka hijrah ke Irama Tara, U.R. Record (1981) dan ke beberapa label studio rekaman lainnya. Album bertajuk “Kami Tjinta Perdamaian” yang memuat lagu 'Achir Tjinta', merupakan kiprah pertama Benny Pandjaitan bersama Panbers dan sekaligus album terobosan bagi mereka. Lewat 'Akhir Cinta' inilah Panbers menjadi band pembuka konser The Bee Gees di Jakarta 1974. Panbers adalah peletak dasar berpijak bagi para penyanyi dan musisi Batak di industri musik nasional. Dialah ikon, sumber inspirasi, panutan, dan standar bagi anak-anak muda Batak pada dekade 70-80-an. Selain lagu-lagu Batak, Benny juga menciptakan lagu-lagu berbahasa Inggris, yang semuanya berirama rock. Panbers-lah unikum yang langka di dunia musik Indonesia pada masa itu, karena satu-satunya grup band yang semua personelnya kakak beradik keluarga Batak. Meski dengan warna Bataknya yang demikian kental, Panbers dapat diterima dan menjadi idola kaum muda di semua pelosok negeri ini dan mampu menerobos sekat-sekat kesukuan dan kelas sosial. Kiprah bermusik Panbers sempat terhentak sejenak dengan wafatnya Hans Pandjaitan pada 1995 karena sakit. Tahun 2010, Panbers kembali ditinggalkan salah satu personelnya. Doan Panjaitan meninggal dunia karena sakit. Meski cukup terpukul dengan kehilangan Doan, Panbers bertekad kembali untuk terus berkibar dengan karya-karya mereka yang abadi. Panbers telah menciptakan lebih dari 700 lagu dalam ratusan album, baik yang beraliran pop, rock, rohani, keroncong bahkan melayu. Mereka juga sudah membuat vasiasi lagu kurang lebih dalam 15 bahasa daerah Indonesia. Lagu “Gereja Tua” telah membuahkan Piringan Emas dan telah dibuat dalam 10 versi bahasa daerah. Dalam perjalanan karier bermusiknya, Panbers telah menerima banyak anugerah penghargaan dari jumlah penjualan album maupun prestasinya. Selama berkarier lebih 38 tahun, Panbers sudah menghasilkan penghargaan tertinggi di musik berupa, dua belas Golden Record dan satu Silver Record, serta puluhan trofi dan penghargaan lainnya. Mereka mempunyai pengalaman manggung di lebih 350 kota besar-kecil dalam rangka real show.
Bimbo, Bimbo adalah grup musik asal Bandung yang didirikan tahun 1967. Personel Bimbo terdiri dari tiga bersaudara kakak beradik Sam, Atjil (Acil), dan Djaka (Jaka). kemudian ditambah adik perempuan mereka Iin Parlina. Mereka bersenandung tentang cinta, bercanda dalam lagu, mulai soal kumis, tangan, mata, sampai calon mertua atau membuat satire sosial. Bimbo juga berbicara tentang Tuhan lewat lagunya “Tuhan”. Dilahirkan di Kota Kembang, Bandung, anak-anak dari pasangan Raden Dajat Hardjakusumah dan Oeken Kenran. Sam sebagai anak sulung dari kecil suka menyanyi, yang kemudian diikuti juga oleh adik-adiknya. Di tahun 1950-an, Sam dan Acil muda mulai ikut terkontaminasi aliran musik bergaya seriosa ala Pavarotti, sampai musik rock ala Elvis Presley. Hingga akhirnya, Sam dan adiknya membentuk band The Alulas di Bandung, dengan dibantu oleh temannya Jessy Wenas, dan berhasil menjadi pemenang festival band di Bandung (1959). Pada 1960-an, mereka mulai membangun karier bermusik secara serius. Tahun 1962 band mereka berubah nama menjadi Band Aneka Nada. Sam dan Acil menjadi vokalisnya serta Guntur Sukarnoputra (putera presiden RI pertama Soekarno) juga ikut bergabung. Aneka Nada kala itu beranggotakan Sam (vocal), Acil (vocal dan gitar), Guntur Sukarnoputra (gitar), Iwan (bass), Jessy Wenas (gitar dan vocal), Indradi (drumer), dan Memet Slamet (vocal). Aneka Nada banyak memainkan musik berirama Amerika Latin, cha-cha dan ada juga lagu barat berirama rock. Band ini berhasil membuat rekaman pertamanya yang berjudul “Kampungku” yang direkam oleh Lokananta dan diputar di RRI Bandung serta kota lainnya, sehingga membuat mereka cukup dikenal. Mereka-pun sempat tour ke berbagai kota di Indonesia. Di saat yang sama, Sam juga mengasuh Band Aneka Nada Yunior yang anggotanya antara lain adalah adik laki-lakinya Jaka dan Iwan Abdurachman, teman Jaka saat di SMP. Selain itu, Sam juga melatih adik-adik perempuannya, yaitu Yani, Tina dan Iin, untuk bernyanyi dalam Trio Yanti Bersaudara. Yanti Bersaudara (singkatan dari Yani Tina Iin) sudah mengeluarkan album dan bernyanyi hampir di seluruh penjuru tanah air. Trio ini sempat populer di era 1960-an, dan ketika Yanti Bersaudara berjaya, Band Aneka Nada justeru malah bubar. Sam dan Acil sempat vakum untuk beberapa saat. Di tengah kesuksesannya waktu itu, Iin, Yani, dan Tina menggagas untuk memberi hadiah gitar buatan ahli gitar ternama, Oen Peng Hok kepada ketiga kakak laki-lakinya, yang dimaksudkan sebagai pemacu semangat untuk bermusik. Sejak saat itulah, tiga bersaudara itu semakin giat berlatih. Mereka mulai berlatih memainkan lagu-lagu latin yang pada akhirnya membentuk sebuah band sendiri. Bimbo didirikan di Bandung oleh 3 bersaudara: Muhammad Samsudin Dajat Hardjakusumah (Sam), Darmawan Dayat Hardjakusumah (Acil) dan Jaka Purnama Dajat Hardjakusumah (Jaka) pada tahun 1967. Saat terbentuknya, Sam banyak mendapat saran dari temannnya FR Pattirane, yang membukakan cakrawala mereka dalam bermusik. Nama Bimbo diberikan oleh Hamid Gruno, seorang sutradara televisi. Bermula pada tahun 1967, ketika muncul di televisi, band ini belum ada nama. Oleh Hamid Gruno disuruh memakai saja nama Bimbo, yang artinya: Bagus laah! Sebab itu mereka pun kemudian selalu mengidentikkan diri dengan "Bagus". Sejak saat itu, mereka menggunakan nama Trio Los Bimbos yang masih berbau Latin. Belakangan mereka mengubah nama Trio Los Bimbos menjadi Trio Bimbo agar lebih berkesan lokal. Awalnya Trio Bimbo banyak dipengaruhi musik Latin. Menurut mereka lagu-lagu Latin itu dekat dengan tembang Sunda yang banyak menggunakan Perkusi dan Gendang. Kedekatannya lagi juga pada nada minor yang dominan. Trio Bimbo pernah mencoba menawarkan konsep musiknya untuk direkam oleh Remaco (1969). Namun demo mereka ditolak Remaco dengan alasan musik yang diusungnya dianggap kurang lazim di Indonesia. Meski mengecewakan namun hal itu tidak mengendorkan semangat mereka untuk terus bermain musik sembari melanjutkan pendidikan. Suatu ketika, Trio Bimbo mendapatkan kontrak bermusik untuk menghibur tamu hotel selama tiga bulan di Singapura. Mendekati kontrak mereka hampir selesai, Bimbo pun waktu itu sebenarnya hampir bubar. Lalu mereka mencoba membuat sebuah album buat kenang-kenangan sebelum pulang ke Indonesia. Bimbo merekam album di Polydor dengan label Fontana, Singapura (1970). Rekaman tersebut juga melibatkan seniman jazz Maryono pada flute dan saksofon, serta Mulyono pada piano. Album yang sempat ditolak dan memuat 12 lagu antara lain “Melati dari Jayagiri” dan “Flamboyan” gubahan Iwan Abdulrachman tersebut ternyata “menjadi ironi” karena meledak justeru bukan di negeri sendiri. Pada back cover album ini terdapat sebuah liner notes yang antara lain berbunyi : ”Menyanyi adalah media seni yang paling cepat menyentuh perasaan seseorang. Tanpa melalui kata-kata, seseorang bisa dibawa hanyut.”. Album pertama Trio Bimbo ini hanya dicetak terbatas, namun ini merupakan pintu masuk Trio Bimbo ke belantika musik di Indonesia. Kesuksesan merilis album perdana itu menjadikan mereka mulai dikenal oleh pecinta musik nasional dan bersemangat untuk meluncurkan album-album berikutnya. Perusahaan Remaco-pun mengubah keputusannya dan menarik Bimbo untuk bekerja sama. Di era '70-an, Bimbo sangat identik dengan lagu-lagu balada yang cenderung berpola minor dengan lirik-lirik puitis. Hal inilah yang menjadikan mereka unik dan disukai para penggemarnya. Hubungan kerja Bimbo dengan Remaco berakhir tahun 1978 dan mereka berpindah ke studio-studio rekaman lain yang telah menanti untuk bekerja sama. Setelah Yanti Bersaudara bubar. Iin Parlina yang masih memiliki minat untuk benyanyi diajak bergabung dalam grup Bimbo bersama ketiga abangnya (1971). Setelah menambah personelnya dengan Iin Parlina, Trio Bimbo berubah nama menjadi Bimbo. Nama Bimbo pun kerap ditulis menjadi “Bimbo & Iin”. Setelah bergabungnya Iin, Bimbo mulai membuat lagu-lagu dengan tema-tema keseharian hingga lagu-lagu yang titelnya menggunakan serial anggota tubuh, dan cenderung bernada humor. Memang kehadiran Iin tidak selalu terdapat dalam semua album, karena itulah oleh banyak kalangan ia kerap dianggap sebagai additional member saja dari kelompok Bimbo. Memasuki era '80-an, Bimbo bernyanyi dengan lagu-lagu bertemakan kritik sosial seperti “Antara Kabul dan Beirut” atau “Surat untuk Reagan dan Brezhnev”. Namun, di sisi lain ciri khas Bimbo sebagai kelompok religius pun melekat erat. Berawal dengan lagu “Tuhan” karya Sam Bimbo dan berlanjut dengan Album Qasidah di tahun 1974. Lagu-lagu tersebut melegenda dan kerap dinyanyikan dalam moment-moment Hari Raya Islam oleh Bimbo maupun penyanyi lain. Bahkan lagu-lagu mereka sudah banyak yang dirilis ulang oleh para penyanyi lain. Bimbo juga telah lama berkomitmen dengan permasalahan lingkungan. Mereka telah membuat album khusus tentang lingkungan. Kekecewaan Bimbo hingga sekarang adalah pada kondisi lingkungan di Indonesia yang semakin rusak, telah mereka tuangkan dalam lagu-lagunya. Tidak melulu cinta kasih atau dakwah, sebagian lagu-lagu Bimbo juga tajam mengkritik kondisi sosial politik negeri ini, seperti "Tante Sun" ciptaan Jaka yang sempat bikin gemas penguasa Orde Baru di masa itu dan kemudian dicekal. Dalam perjalanan kreatifnya, Bimbo mendapatkan dukungan dari sejumlah seniman yang banyak menulis lagu. Bimbo juga banyak menjalin kolaborasi dengan sederet sastrawan seperti Wing Kardjo dan Taufiq Ismail, hingga penyair Taufiq Ismail-pun bersedia puisinya dilagukan Bimbo, seperti “Rindu Rasul” dan “Sajadah Panjang”. Pada tahun 2007, Bimbo merilis album baru yang antara lain menampilkan karya terbaru Taufiq Ismail yang berpola kritik sosial. Bimbo adalah jalan panjang yang melegenda. Selama lebih dari 40 tahun berkarya, mereka melahirkan sekitar 800 lagu dalam 200 album. Bimbo juga pernah merilis album pop, keroncong, dangdut, klasik melayu, pop sunda dan tentu saja lagu-lagu rohani. Bimbo telah sukses mengadakan sebuah konser 40 tahun, yang berlangsung di Jakarta pada tahun 2007. Saat itu pula mereka merilis album pop serta menerbitkan buku 40 Tahun Bimbo.
Koes Plus, Semua berawal dari Koes Brothers yang terbentuk tahun 1958. Keluarga Koeswoyo yang terdiri dari Tonny, Yon, Yok, John, dan Nomo mulai berkarya dan meluncurkan album perdananya di tahun 1962. Koes Brothers yang berasal dari Tuban ini berganti nama menjadi Koes Bersaudara (1962). Personil band ini terdiri dari: Koestono (Tonny) pada gitar, Koesyono (Yon) sebagai vokalis dan gitar, Koesrojo (Yok), vokalis dan bass, Koesdjono (John) pada bass, dan Koesnomo (Nomo) pada drum. Dari Koes Bersaudara lahirlah lagu-lagu yang sangat populer antara lain: Bis Sekolah, Di Dalam Bui, dan Telaga Sunyi. Album Koes Bersaudara sempat menempati peringkat ke-14 dalam daftar 150 Album Indonesia Terbaik (2007) sedangkan lagu “Bis Sekolah” menempati posisi ke-4 dalam daftar 150 Lagu Indonesia Terbaik (2009) versi Majalah Rolling Stone Indonesia. Koes Bersaudara di masanya telah berhasil menciptakan tidak kurang dari 203 lagu yang diproduksi ke dalam 17 album. Bongkar pasang personil, menjadi hal lumrah terjadi di kebanyakan band. Begitupun yang terjadi pada Koes Bersaudara. Tonny ingin semua personil mendedikasikan waktu mereka sepenuhnya di band. Hal ini menjadi dilema bagi Nomo yang saat itu bekerja sampingan demi menafkahi anak istri. Pada akhirnya, keadaan mengharuskan Nomo dan Yok keluar dari Koes Bersaudara. Namun, tamatnya Koes Bersaudara berbuah hikmah melahirkan Koes Plus. Tonny yang saat itu masih ingin terus berkarya lantas menggandeng dua musisi yakni Kasmuri (Murry), eks drummer Band Patas dan Totok A.R, pemain bass group Philon. Meski sempat menimbulkan konflik internal, namun akhirnya Koes Plus lahir di pertengahan tahun 1969. Band ini memakai nama Koes Plus, yang artinya plus dua orang di luar dinasti Koeswoyo. Bersama Murry, Koes Plus merekam debut mereka di bawah label Melody Records, melalui album yang berisi lagu super keras “Kelelawar”. Tidak hanya Murry, keberadaan Adji Kartono atau Totok AR juga tidak boleh diabaikan. Dialah pemain bass pertama Koes Plus. Totok tidak lagi memperkuat Koes Plus ketika Yok kembali menggantikan posisinya (1970). Tidak hanya menjadi trendsetter dari segi genre musik saja, hingga kini, Koes Plus dan Koes Bersaudara tercatat sebagai pelopor musik pop di Indonesia. Koes Plus bahkan pernah dinobatkan sebagai band terbaik di acara Jambore Band di Jakarta tahun 1972. Koes Plus menjadi satu-satunya band yang membawakan lagunya sendiri, sementara grup yang lain rata-rata menyanyikan lagu-lagu berbahasa Inggris. Membawakan lagu ciptaan sendiri adalah tradisi Koes Bersaudara yang kemudian dilanjutkan Koes Plus. Koes Plus pada awalnya tidak mendapat simpati dari pecinta musik Indonesia. Album pertamanya sempat ditolak beberapa toko kaset. Mereka bahkan mentertawakan lagu “Kelelawar” yang sebenarnya asyik. Murry bahkan sempat “ngambek” dan pergi ke Jember sambil membagi-bagikan piringan hitam albumnya secara gratis kepada teman-temannya. Setelah lagu “Kelelawar” diputar di RRI, orang mulai mencari-cari album pertama Koes Plus. Lewat lagu-lagunya, antara lain “Cinta Buta”, Koes Plus mulai mendominasi musik Indonesia di masa itu. Personil Koes Plus bahkan pernah dipenjara oleh Pemerintah berkuasa saat itu, karena musiknya dianggap mewakili aliran politik kapitalis dan imperialisme pro barat. Dari penjara, Koes Plus justru menghasilkan lagu-lagu yang sampai sekarang tetap menggetarkan, antara lain: Di Dalam Bui. Sehari sebelum peristiwa G 30 S-PKI, mereka dibebaskan. Belakangan diketahui, personel Koes Bersaudara yang masih hidup sempat memberikan testimoni di televisi, bahwa di balik penahanan mereka sebenarnya berbalut romansa politik (2008). Koes Plus tidak pernah ada niatan untuk menodai kedaulatan Republik Indonesia, bahkan mereka ingin mengharumkan nama Bumi Pertiwi melalui karya-karya musiknya.
Di sepanjang perjalanan kariernya, Koes Plus telah bekerja sama dengan sejumlah label rekaman. Bergabung dengan Remaco (1973), Koes Plus semakin menuai sukses. Mereka melebarkan spektrum bermusik dengan merekam lagu-lagu berbahasa Jawa. Bisa jadi, Koes Plus-lah satu-satunya band yang membuat Album Natal namun juga merilis Album Qasidah. Mereka juga-lah satu-satunya band yang merilis Album Pop Anak-Anak, album berbahasa Inggris, album lembut folk song, namun juga merilis album bernada keras seperti In Hard Beat yang diselingi keroncong, serta Album Pop Melayu. Di era 1980-an, mereka merekam Pop Batak dan Bossas. Prestasi mereka dalam berkarya mencetak rekor yang membanggakan dalam catatan sejarah musik Indonesia, selain tawaran show dan honor manggung yang tidak tertandingi di masa itu. Sejak tahun 1960, Koes Plus berhasil menelurkan tidak kurang dari 953 lagu yang disematkan ke dalam 89 album. Koes Plus pindah dari Remaco ke Purnama Records (1970), dan merekam album “Cubit-Cubitan”. Seiring munculnya trend lagu-lagu sendu, kepopuleran Koes Plus menjadi surut di tahun 1980. Tahun 1993, musisi Deddy Dores bergabung meski tak berlangsung lama, kemudian Andolin Sibuea dan Jack Kasbie ikut bergabung pula. Era 80-an adalah era yang sulit. Namun, mereka masih bisa menghasilkan album-album dengan materi yang dahsyat, dan tetap tampil di televisi. Hingga akhirnya, sang motor dan inspirator Tonny Koeswoyo meninggal dunia di 1987. Tidak saja kehilangan, ketidak-yakinan akan terus berkibarnya bendera Koes Plus tanpa Tonny juga dirasakan sebagai hal yag begitu berat dijalani. Namun, wasiat almarhum yang menginginkan Koes Plus tetap berkibar, cukup memotivasi para personil yang tersisa untuk tetap merekam album-album terbarunya, walau penjualannya tak se-meledak di era 1970-an. Kreativitas yang luas tampak dari aransemen dan komposisi musik karya mereka. Nada yang tercipta sangat merdu dan indah sehingga menjadikan musik penerima Legend Awards ini istimewa. Karya-karya Koes Plus, penerima penghargaan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga tahun 2009 ini selalu meledak di pasaran. Penikmat lagu-lagunya bukan hanya orang tua, tetapi juga anak-anak muda bahkan anak-anak kecil sekalipun. Sukses telah diraih, bukan dengan cara instan. Tetapi membutuhkan kerja keras, keringat dan air mata untuk bisa mencapainya. Lagu-lagu Koes Plus menjadi kiblat musisi lain dan tak padam ditelan zaman. Berbagai hits lagu mereka kerap didaur ulang dan dinyanyikan kembali oleh banyak musisi dengan aransemen berbeda. Gaungnya masih terdengar merdu hingga saat ini. Sukses itu harus diraih dengan kerja keras, bukan tanpa usaha. Kalau kamu tertarik di bidang seni, ciptakan karya-karya menarik yang dapat diterima masyarakat. Jika gagal atau mendapat penolakan, jangan menyerah. Ingat, roda itu berputar. Suatu saat kamu akan berada di atas atau puncak kesuksesan melalui karya-karya indahmu.
God Bless, God Bless adalah grup musik rock era 1970-an dari Jakarta. Tahun 1975, God Bless terpilih sebagai pembuka acara konser Deep Purple di Jakarta. Berdirinya God Bless diawali dengan kembalinya Ahmad Albar ke tanah air setelah beberapa tahun tinggal di Belanda. Iyek, panggilan akrab Ahmad Albar, kembali dari Belanda bersama Ludwig Lemans (gitaris Clover Leaf, band Iyek ketika di Belanda). Iyek juga mengajak Fuad Hassan (drummer) dan Donny Fattah (bass) untuk membentuk band baru. Inilah yang melatarbelakangi berdirinya Crazy Wheels. Band yang mengadakan konser perdananya di Taman Ismail Marzuki, dan mengikuti pentas musik "Summer '28", semacam pentas 'Woodstock' ala Indonesia di Jakarta, dan mengubah namanya menjadi God Bless pada Mei 1973. Jockie Surjoprajogo (keyboard) bergabung dengan God Bless di awal 1973 sebagai pengganti Deddy Dores-karena harus mengelola band-nya sendiri, walaupun tidak bertahan lama, posisinya digantikan oleh Soman Lubis. Tahun 1974, Fuad Hasan dan Soman Lubis (keyboard) mengalami kecelakaan lalu lintas dan sang gitaris Ludwig Lemans juga keluar, sehingga personil yang tersisa tinggal Ahmad Albar dan Donny Fattah Gagola. Akhirnya, mereka mengajak Jockie untuk bergabung kembali ke dalam God Bless, bersama Jusuf “Ian” Antono (gitaris) dan Teddy Sujaya (drum). God Bless bukanlah band yang memiliki lagu ciptaan sendiri dan mereka hanya membawakan lagu-lagu ciptaan orang lain. Hingga pada akhirnya mereka menulis lagu, dan merekamnya di studio milik Alex Kumara. Rekaman ini kemudian digarap oleh Aquarius Musikindo di tahun 1975, dan God Bless berhasil merilis album perdananya. Menjelang pembuatan album kedua, Jockie keluar dari formasi, dan posisinya digantikan Abadi Soesman (1979), yang ikut dalam pembuatan Album Cermin (1980). Album Cermin adalah representasi pemberontakan God Bless terhadap dominasi industri rekaman yang selalu “mencekokkan” komersialisme atas tuntutan pasar yang didominasi musik pop bertemakan cinta dalam pandangan sempit. Ini adalah album God Bless yang paling idealis dan terbaik dari sisi musikalitasnya, dan menjadi barometer kualitas band rock di masa itu. Tahun 1980-an, salah satu promotor rock asal Surabaya, Log Zhelebour mulai gencar mementaskan festival rock di Indonesia, dan melibatkan God Bless dengan menjadikan lagu-lagunya sebagai lagu "wajib" dan personilnya menjadi juri di festival tersebut. Dari sekadar menjadi juri, (1988) God Bless sempat melahirkan Album Come Back “Semut Hitam” yang meledak dan paling laris di pasaran, dengan hitsnya: Rumah Kita, Semut Hitam, dan Kehidupan. Di album ini, konsep musik God Bless yang awalnya bernuansa rock progresif secara drastis berubah menjadi lebih keras dengan pengaruh musik hard rock dan heavy metal. Setelah Album Semut Hitam keluar, Ian Antono juga keluar dari formasi God Bless dan posisinya digantikan oleh gitaris muda berbakat, Eet Sjahranie. Walau tidak banyak merilis album, God Bless, dianggap legenda dan pelopor musik rock Indonesia karena mereka memiliki kualitas bermusik yang dianggap tinggi. Sepanjang kariernya, grup ini mengalami 15 kali lebih pergantian personil atau ”formasi”, tidak terkecuali hadirnya Odink Nasution (gitaris), Keenan Nasution (gitaris) dan Dodo Zakaria sebagai kibordis.
Tahun 2002 bisa dikatakan sebagai tahun kembalinya God Bless. Kembali dari vakum selama hampir 5 tahun lamanya, God Bless hadir dengan formasi terbaru, yaitu Ahmad Albar (vokal), Ian Antono (gitar), Donny Fattah (bass), Abadi Soesman (kibor), serta dua kakak beradik Inang Noorsaid (drum) dan Iwang Noorsaid (kibor). Belum genap setahun berjalan, kibordis Iwang Noorsaid mengundurkan diri karena kesibukannya, menyusul sang kakak Inang Noorsaid ikut mengundurkan diri (2003), posisinya kemudian digantikan oleh Gilang Ramadhan. God Bless sempat terhenti akhir tahun 2007, ketika sang vokalis Ahmad Albar tersangkut masalah hukum. Di pertengahan 2008, God Bless pun kembali meramaikan panggung musik tanah air. Tahun 2009, mereka tampil di televisi dengan formasi terbarunya: Ahmad Albar (vokal), Ian Antono (gitar), Donny Fattah (bass), Yaya Moektio (drum) dan Abadi Soesman (kibor). Awal tahun 2009, God Bless akhirnya mengeluarkan album terbarunya yang berjudul “36 th”. Di awal tahun 2012, God Bless tampil dalam event akbar "Java Jazz 2012" bersama Arya Setyadi yang dipercaya menggantikan Donny Fattah sebagai bassist. Pada saat itu posisi drummer diisi oleh Fajar Satritama, yang hadir sebagai additional player menggantikan Yaya Moektio. Kembalinya Donny Fattah, setengah tahun berselang disambut gembira oleh pencinta God Bless, yang tergabung dalam God Bless Community Indonesia. Tahun 2014, God Bless mengadakan konser To Commemmorate God Bless di Bandung dan konser Panggung Sandiwarara God Bless di Jakarta tahun 2015. Perjalanan selama 45 tahun lebih God Bless bukan tanpa alasan untuk diangkat. Selain memiliki 7 album yang melegenda, band ini termasuk dalam jajaran band yang menarik untuk diikuti perkembangannya. Rahasia yang membuat mereka bertahan hingga saat ini adalah rasa cinta, selain kesamaan selera musik dari masing-masing personilnya. Mereka sudah lama seperti keluarga, dan anggota di God Bless juga memiliki toleransi yang kuat.
Makna dan tujuan penerbitan prangko seri Musik Indonesia adalah untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap musik nasional dan penghargaan kepada para seniman musik Indonesia dengan karya-karyanya, meningkatkan kepercayaan diri dan motivasi pegiat musik Indonesia serta untuk mendorong peningkatan prestasi para pegiat musik pada tingkat nasional bahkan internasional.
Dikutip dari berbagai sumber.