Tjokorda Raka Sukawati
Seorang insinyur Indonesia yang menemukan konstruksi Sosrobahu, yang memudahkan pembangunan jalan layang tanpa mengganggu arus lalu lintas pada saat pembangunannya. Tjokorda meraih gelar Insinyur bidang Teknik Sipil di Institut Teknologi Bandung 1962. Tjokorda memulai karirnya di PT. Hutama Karya, sebuah perusahaan konstruksi dan infrastruktur, yang merupakan Badan Usaha Milik Negara.
Inovasi Sosrobahu bermula pada tahun 1976 ketika Kementerian PUPR akan membangun jalan tol dari Jagorawi ke Tanjung Priok. Rencana awal proyek tersebut akan dikerjakan oleh pihak asing, tetapi keputusan penting memberikan peran perusahaan nasional untuk menyelesaikan proyek. Pada saat itu, Ir. Tjokorda dipercaya sebagai Ketua Manajemen Proyek.
Tjokorda harus mencari solusi non konvensional sebagai penyelesaian proyek. Sebab, teknik bekisting tidak memungkinkan karena akan mengganggu lalu lintas. Sedangkan konstruksi secara segmental akan memakan waktu dan biaya yang lebih besar. Dalam situasi ini beliau menemukan inovasi Sosrobahu sehingga proyek ini dapat diselesaikan lebih cepat sembilan bulan dengan tetap menjaga kualitas proyek.
Teknik Landasan Putar Bebas Hambatan (LPBH) atau Sosrobahu. Sebuah mahakarya yang telah mendunia dan telah diterapkan di berbagai proyek jalan layang di dalam dan luar negeri.
Sedijatmo Atmohoedojo
Merupakan lulusan Hollandsch-Inlandsche School (HIS). Setelah lulus dari HIS, ia mendapat beasiswa dari Mangkunegaran untuk meneruskan pendidikan di MULO Solo, dan kemudian melanjutkan ke AMS di Yogyakarta. Dengan beasiswa pula ia menuntut ilmu di jurusan Teknik Sipil di Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB). Karir di dunia akademik Sedijatmo berawal sejak pengangkatannya sebagai Rektor luar biasa untuk vak Waterkracht (bidang pembangkit tenaga air) pada bagian Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Indonesia Bandung. Ia juga pernah menjabat sebagai guru besar luar biasa bidang pembangkit tenaga air.
Sedijatmo dikenal dunia setelah mengembangkan sistem pondasi Cakar Ayam. Sistem ini cocok digunakan di jalan-jalan raya, jalan kereta api, landasan pelabuhan udara, bangunan, bahkan seluruh perkotaan terlebih untuk daerah yang memiliki struktur tanah lembek atau berawa. Sistem ini diunggulkan karena mampu menopang beban di tanah yang lembek. Selain itu, pondasi sistem Cakar Ayam juga mampu mengurangi biaya, material, dan waktu pengerjaan. Daya dukungnya lebih tinggi dan tidak memerlukan sela-sela untuk menampung pengembangan akibat perubahan cuaca.
Pemerintah Indonesia menganugerahkan penghargaan Bintang Mahaputra Kelas I atas jasa-jasanya. Namanya kemudian diabadikan sebagai nama jalan bebas hambatan dari Jakarta menuju bandar Soekarno-Hatta.
Friedrich Silaban
Karier Silaban di dunia arsitek diawali saat bersekolah di Jakarta. Dia sangat tertarik pada desain bangunan Pasar Gambir di Koningsplein, Batavia, 1929, buatan arsitek Belanda, JH Antonisse. Setelah lulus sekolah, Silaban mengunjungi kantor Antonisse. Dia pun dipekerjakan sebagai pegawai di Departemen Umum, di bawah pemerintahan kolonial. Kariernya terus meningkat hingga akhirnya ia menjabat sebagai Direktur Pekerjaan Umum tahun 1947 hingga 1965. Jabatannya itu membawa Silaban ke penjuru dunia. Tahun 1949 hingga 1950, Silaban ke Belanda mengikuti kuliah tahun terakhir di Academie voor Bouwkunst atau akademi seni dan bangunan.
Pada tahun 1955, Presiden Indonesia Ir Soekarno mengadakan sayembara membuat desain maket Masjid Istiqlal. Sebanyak 22 dari 30 arsitek lolos persyaratan. Bung Karno sebagai Ketua Dewan Juri mengumumkan nama Friedrich Silaban dengan karya berjudul "Ketuhanan" sebagai pemegang sayembara arsitek masjid itu. Pada 1961, penanaman tiang pancang baru dilakukan. Pembangunan baru selesai 17 tahun kemudian dan resmi digunakan sejak tanggal 22 Februari 1978.
Selain Masjid Istiqlal, karya arsitektur Silaban di antaranya Stadion Gelora Bung Karno, Monumen Pembebasan Irian Barat, Monumen Nasional atau Tugu Monas, Gerbang Taman Makam Pahlawan Kalibata, hingga Tugu Khatulistiwa Pontianak.
(Dikutip dari berbagai sumber)