Tari Jathilan Yogyakarta adalah salah satu jenis kesenian berupa tarian tertua di Jawa, berasal dari propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang hidup dan tumbuh berkembang pada komunitas masyarakat pedesaan. Kesenian Jathilan memiliki sifat mudah dikenal dan memasyarakat, maka sebutan seni di pedesaan lebih akrab disebut sebagai seni kerakyatan. Seni kerakyatan adalah seni yang hidup dan tumbuh serta berkembang pada komunitas masyarakat pedesaan. Selain di Yogyakarta, Jathilan juga berkembang di Jawa Tengah hingga Jawa Timur dengan versi dan nama yang berbeda.
Pada umumnya kesenian Jathilan menampilkan seorang penari yang mengempit kuda-kudaan yang disebut kuda kepang, dengan gerakan menirukan gerak-gerik kuda atau penunggang kuda. Kesenian Jathilan identik dengan kuda sebagai objek sajian. Kuda telah memberikan inspirasi, mulai dari gerak tari hingga makna dibalik tari kerakyatan tersebut. Kuda dan kostum penari Jathilan terinspirasi dari kegagahan pasukan berkuda dari Kerajaan Mataram, namun karena tumbuh dan berkembang di masyarakat maka digunakan anyaman bambu atau kulit untuk menirukan bentuk kuda.
Secara epistemologis istilah jathilan berasal dari istilah Jawa njathil yang berarti meloncat-loncat menyerupai gerak-gerik kuda. Dari gerak yang pada awalnya bebas tak teratur, kemudian ditata sedemikian rupa menjadi gerak yang lebih menarik untuk dilihat sebagai tari penggambaran kuda yang berjingkrak-jingkrak menirukan gerak ksatria dengan kudanya. Tarian ini sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak-Benda Indonesia pada tahun 2016.
Tari Piriang Suluah termasuk salah satu tari tradisional khas Minangkabau. Tarian yang berasal dari propinsi Sumatra Barat ini dilakukan sebagai ritual mengucapkan rasa syukur masyarakat kepada Sang Maha Pencipta atas hasil panen. Tari ini menggunakan suluah (obor) yang bermakna sebagai penerang sekaligus penyeimbang kehidupan.
Tari Piring ini dimainkan dengan menggunakan piring sebagai media utama. Para penari memainkan piring dengan cekatan tanpa terlepas dari genggaman sembari bergoyang dengan gerakan yang lembut dan teratur, sambil sesekali melakukan gerakan lompat dan berguling di atas pecahan piring. Uniknya, para penari tidak mengalami kendala saat melakukan aksi gerakan tersebut. Adapun gerakan Tari Piriang Suluah mengacu pada aktivitas bertani seperti memetik padi, panen, menggembala kerbau, menghalau burung dan sebagainya. Seluruh kegiatan tersebut menjadi filosofis gerakan Tari Piriang Suluah.
Pada awalnya sejarah tari piring memiliki maksud dalam pemujaan masyarakat Minangkabau terhadap Dewi Padi dan penghormatan atas hasil panen. Namun setelah masuknya ajaran islam ke daerah Minangkabau maka tari piring hanya diperlihatkan untuk acara upacara adat, acara pernikahan, dan lain-lain. Tari piring sendiri sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak-Benda di Indonesia pada tahun 2010.
Sumber: Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Fotografer: Feri Latif