Observatorium Bosscha secara resmi dibuka pada tanggal 1 Januari 1923, didirikan dan dikelola oleh Nederlandsch-Indische -Sterrenkundige Vereeniging yang dibentuk dan dipimpin oleh Bapak Karel Albert Rudolf Bosscha beberapa tahun sebelumnya dengan tujuan khusus yakni menciptakan fasilitas astronomi modern untuk ambil bagian dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Observatorium Bosscha adalah salah satu dari beberapa observatorium astronomi pertama di belahan bumi selatan, dan menandai awal astronomi modern di Asia Tenggara. Semangat gotong royong sudah terlihat sejak awal: menyatukan gagasan untuk rencana instrumen astronomi, program ilmiah, penyiapan sumber daya manusia (astronom, insinyur, teknisi, dan pakar ilmu terkait). Perbukitan Lembang dipilih sebagai lokasi observatorium setelah mempertimbangkan stabilitas geologi, cuaca cerah, jumlah malam yang cerah per tahun, dan yang juga penting: jarak yang dekat (dan hubungan yang baik) ke Technische Hogeschool (cikal-bakal Institut Teknologi Bandung) untuk menjamin kualitas sumber daya manusia dan program ilmiah yang baik.
Kegiatan pengamatan astronomi rintisan menggunakan teleskop-teleskop kecil sangat penting dalam menyempurnakan rencana awal observatorium. Program ilmiah pertama barulah sepenuhnya direalisasi setelah teleskop primadona siap pada tahun 1928: refraktor ganda Zeiss yang merupakan teleskop tercanggih pada masa itu, yang dipesan khusus oleh Mr. Karel Bosscha dan Dr. Joan Voƻte (Direktur Observatorium pertama). Bangunan teleskop, kantor, bengkel mesin, perpustakaan, fasilitas hunian staf, dirancang secara unik untuk memenuhi tujuan dan disesuaikan dengan iklim lokal.
Observatorium Bosscha dibangun pada dekade di mana sejumlah karya teoretis terobosan dalam ilmu fisika membutuhkan bukti pengamatan. Yang berhubungan langsung dengan astronomi adalah teori relativitas umum yang dikemukakan oleh Albert Einstein dan nukleosintesis bintang sebagai salah satu manifestasi fisika kuantum oleh Arthur Eddington. Untuk teori relativitas umum, tes paling sederhana adalah efek pembelokan cahaya oleh Matahari, yang diuji selama gerhana matahari total. Observatorium Bosscha muda membangun jaringan kolaborator awal dengan menghadirkan para ilmuwan dari seluruh dunia ke Sumatera untuk mengamati gerhana matahari total pada tahun 1926. Untuk produksi nukleosintesis bintang, pembangkitan cahaya di bintang, pengetahuan tentang massa bintang dibutuhkan. Pada saat itu, satu-satunya cara untuk mengekstrak informasi tentang massa sebuah bintang adalah bila bintang tersebut kebetulan berada dalam sistem ganda, yaitu dua bintang yang mengorbit pusat massanya. Mengamati bintang ganda menjadi salah satu prioritas tertinggi untuk teleskop ukuran cukup besar seperti refraktor ganda Zeiss. Pengamatan sejumlah besar sistem bintang ganda terekam pada ribuan pelat kaca di Observatorium Bosscha, yang menyimpan banyak koleksi data astronomi sejak awal abad ke-20 dan perpustakaan buku, majalah, peta, dari abad ke-18 yang sangat diperlukan hingga kini.
Upaya pemulihan setelah Perang Dunia Kedua mengembalikan Observatorium Bosscha menjadi observatorium yang berfungsi dengan program ilmiah tambahan dan teknik pengamatan baru. Pada tanggal 18 Oktober 1951 Observatorium Bosscha dihibahkan kepada Republik Indonesia di bawah naungan Institut Teknologi Bandung, dan dengan itu dimulailah program astronomi tingkat universitas di Indonesia. Astronomi dan astrofisika menjadi salah satu ilmu pengetahuan alam yang diajarkan dan dikembangkan di Fakultas MIPA ITB. Observatorium Bosscha terus mengembangkan karya penelitian, khususnya dalam fisika bintang, Galaksi Bima Sakti. Teleskop Schmidt dengan medan pandang luas disiapkan untuk mensurvey Galaksi Bima Sakti, dan karenanya dinamai Teleskop Bima Sakti. Mulai tahun 2000an Observatorium Bosscha mengakomodasi topik-topik penelitian baru seperti pengamatan bulan sabit muda, fisika matahari, planet ekstrasurya, dan mulai memperluas panjang gelombang pengamatan untuk memasukkan rezim radio. Fasilitas komputasi di Observatorium telah dikembangkan untuk memungkinkan pekerjaan komputasi yang kompleks, manajemen dan analisis data yang masif, dan pengoperasian teleskop robotik jarak jauh agar astronomi Indonesia dapat berkembang lebih jauh, aktif dan produktif dalam 'big data science', dengan bidang penelitian yang lebih luas yang mencakup kosmologi, astrofisika energi tinggi, dan studi detail Tata Surya
Dengan perannya yang signifikan dalam penelitian dan pendidikan astronomi, Observatorium Bosscha telah menjadi salah satu pilar ilmu pengetahuan di Indonesia. Upaya serius di bidang astronomi untuk umum dan sekolah telah menjadikan astronomi salah satu ilmu yang paling populer di Indonesia, yang juga menjadi pintu masuk menarik untuk belajar matematika dan cabang ilmu lainnya. Astronomi membuka kesempatan untuk kita menjadikan semesta sebagai ruang refleksi maha raksasa untuk memahami keistimewaan Bumi rumah kita.
Dengan dampak positif pada sains dan literasi sains publik ini, Observatorium Bosscha telah menjadi Cagar Budaya Nasional sejak 2004 (ditetapkan kembali pada tahun 2018) dan Objek Vital Nasional sejak 2008. Ini menjamin perlindungan integritas Observatorium Bosscha.
Premana W. Premadi