Keraton Ratu Boko
Ratu Boko adalah situs arkeologi berupa keraton Kerajaan Mataram Kun dari abad ke-8. Menurut sejarah Mataram Kuno, Keraton Ratu Boko digunakan oleh Dinasty Syailendra (Rakai Pangkaran) jauh sebelum masa Raja Samaratungga (pendiri Candi Borobudur) dan Rakai Pikatan (pendiri Candi Prambanan).
Selain meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti yang tersebar di Pulau Jawa, Kerajaan Mataram Kuno membangun banyak kuil, Hindu maupun Budha. Temuan artefak emas di Wonoboyo, menunjukkan kekayaan seni dan budaya. Candi-candi tersebut adalah Candi Kalasan, Candi Plaosan, Candi Prambanan, Candi Mendut, Candi Pawon, Candi Borobudur, dan banyak lagi.
Menurut prasasti kuno yang dibuat oleh Rakai Panangkaran pada 746-784 M, mulanya bangunan di sekitar situs Ratu Boko disebut Abhayagiri Wihara. Abhaya berarti tidak ada bahaya atau damai. Abhayagiri berarti pemondokan para biarawan Buddha (vihara) yang terletak di wilayah damai di atas bukit. Pada periode berikutnya antara 856-863 M, Abhayagiri Wihara berganti nama menjadi Keraton Walaing yang dicanangkan oleh Rakai Vasal bernama Rakai Walaing Pu Kumbayoni. Prasasti Mantyasih, yang dibangun pada tahun 898-908 M oleh Rakai Balitung Watukara Dyah, menyebutkan bahwa Walaing adalah masih keturunan Punta Tarka yang membuat prasasti Mantyasih. Dari awal abad ke-10 sampai akhir abad ke-16, Keraton Walaing tidak pernah lagi diberitakan.
Nama Ratu boko berasal dari masyarakat setempat. Ratu Boko (dalam bahasa Jawa berarti raja bangau) adalah ayah dari Loro Jongrang, yang menjadi nama candi utama di kompleks Candi Prambanan.
Sumunaring Abhyagiri
Sumunaring Abhayagiri adalah sepenggal tarian Jawa kontemporer, yang dilakukan di situs Ratu Boko, bercerita tentang kisah keluarga kerajaan. Ratusan penari melakukan tarian tersebut, bercerita tentang petualangan dua pangeran bersaudara, serta interaksi mereka dengan masyarakat Boko setempat. Kebijaksanaan para leluhur orang Jawa serta konsep
pemahaman tentang jati diri seseorang, terpancar sepanjang tarian tersebut.
Dikembangkan bersama-sama dengan Jurusan Tari, Universitas Negeri Yogyakarta, tarian ini menjadi benar-benar modern, spektakuler dan berjiwa muda. Pengembangan dengan tetap memelihara nilai-nilai tradisional tarian Jawa, termasuk mengungkapkan prinsip moral sebagai cara pendidikan.