Permainan Singa Bukcheong
Permainan Singa Bukcheong adalah pertunjukan tradisional yang dilaksanakan di Bukcheong-gun, provinsi Hamgyeongnam-do setiap hari ke-15 pada tahun baru menurut penanggalan Korea. Pertunjukan ini digelar secara luas sebagai pagelaran untuk menangkal ruh jahat dan sembahyang agar warga desa diberi kedamaian. Warga desa memercayai bahwa Lion (singa) memiliki kemampuan mengalahkan ruh jahat.
Permainan Singa Bukcheong dimulai dengan pertarungan obor di antara para pemuda berbadan kuat pada malam hari ke-14 setelah tahun baru menurut penanggalan Korea yang berlanjut hingga saat fajar hari ke-15. Pada hari ke-16, seluruh peserta pertunjukan mengunjungi orang-orang yang berpengaruh.
Permainan Lion dikuti oleh pertunjukan tarian Sodang, tarian Mudong, dan tarian jenaka dengan bantal di punggung Lion (singa) berpura-pura menangkap danmemakan sesuatu sambilmasuk ke ruang tengah dan dapur, kemudian menari tarian yang lincah dan dibuat-buat di halaman. Setelah itu Lion memberi penghormatan kepada dewa dapur dan arwah paraleluhur sesuai dengan permintaan pemilikrumah.
Pada saat Lion terjatuh karena kelelahan, masyarakat akan memanggil biarawan untuk membacakan Banyasimgyeong (naskah agama Budha). Namun, apabila Lion tidak terbangun juga, mereka telah menyiapkan perawatan dokter dengan tusuk jarum. Ketika sudah sadar seluruh pesera menari, Suling bambu berlubang enam, genderang, gong, dan gendang berbentuk jam pasir, digunakan dalam permainan ini. Suling berlubang enam, secara khusus menjadi instrumen utama.
Masyarakat juga percaya apabila seorang anak yang menunggangi punggung Lion, maka usianya akan dipanjangkan.
Saat ini permainan Singa Bukcheong dilakukan dengan karakter yang mutakhir dan bertenaga daripada dengan bercerita dan sindiran.
BANTENGAN
Kata 'Bantengan' berasal dari kata banteng; yaitu nama hewan sejenis sapi liar dengan nama latin Bos javanicus. Hewan ini masih sekerabat dengan sapi, termasuk hewan dengan status terancam' dan sudah hampir punah. Kata banteng mendapat akhiran 'an sehingga menjadi Bantengan' yang berarti permainan dalam bahasa Jawa. Dengan demikian 'Bantengan dapat pula diartikan sebagai permainan yang menirukan karakter hewan banteng. Banteng menjadi karakter utama dalam permainan Bantengan.
Bantengan merupakan bentuk seni pertunjukan rakyat warisan dari leluhur tanah Jawa Timur yang erat dengan budaya agraris. Bantengan menggambarkan pertarungan antara banteng melawan musuhnya, yaitu macan dan monyet. Banteng melambangkan kebaikan (kekuatan, keadilan, sekaligus melambangkan kemakmuran) yang bisa mengalahkan keburukan (macan dan monyet). Macan melambangkan angkara murka, monyet melambangkan kekikiran.
Permainan Bantengan selalu mengunakan kekuatan magis untuk memanggil arwah leluhur, ruh hewan (banteng/sapi/kerbau/macan/ monyet) atau dhanyangan dan memasukkan ke dalam tubuh pemain Bantengan sehingga pemain mengalami kondisi in trance atau dalam bahasa Bantengan disebut kalap atau ndadi. Permainan ini dikendalikan oleh pawang atau pamong yang di dalamnya termasuk sesepuh dan pendekar.
Saat ini kesenian Bantengan hanya dapat dijumpai di wilayah Malang, Batu, sampai ke daerah Pare Kediri dan Mojokerto, Wilayah ini merupakan lahan pertanian yang subur dengan tradisi agraris yang kuat. Hampir seluruh pelaku Bantengan merupakan petani penggarap.
Sejak tahun 2008, di kota Batu diadakan festival tahunan BANTENGAN NUSWANTARA yang mengumpulkan seluruh grup Bantengan yang ada, khususnya wilayah Malang Raya dalam Sebuan parade kolosal, Festival ini adalah satu-satunya yang paling besar yang secara Khusus mewadahi Bantengan untuk tampil mengekspresikan diri tepat di tengah kota Batu.